Ya, itu sudah lama sekali. Mas Farid kini seolah orang asing bagiku. Atau, apakah aku sendiri yang mengasingkan diri? Pagi-pagi, bless, dia sudah lenyap di pintu depan rumah. Dia hanya berteriak lantang, akan berangkat kerja. Kulihat piring sarapannya sudah kosong. Kopi susu di cangkir tinggal setengah. Aku telah lupa agar selalu menemaninya sarapan. Piring-gelas di wastafel, lebih dulu melambai-lambai. Dapur seolah sekumpulan jelaga dan tepung, menurutku. Semua harus bersih!
Senja hari, bless, Mas Farid berteriak lantang seperti film kartun Jepang; Mama, aku pulaaang! Kemudian kami bersantap malam dengan cerita yang datar-datar saja. Selepas itu Mas Farid di ruang kerjanya, sementara aku tak ada pilihan lain selepas shalat maghrib, kecuali memegang remote tivi, dengan menggonta-ganti channel seolah tanganku memegang tasbih.
Dan dua minggu lalu itulah yang menjadi pembeda. Seperti yang telah kuutarakan di atas, Mas Farid senang bersolek. Belum lagi wajahnya dibuat lebih manis dari yang sudah. Aku curiga, wajah manis itu adalah tipu-daya untuk menutupi kelakuannya di luar sana. Sementara teriakan-teriakannya saat pergi atau pulang kerja, pun terhenti. Dia mulai senang permisi dengan ucapan salam. Apakah karena bulan ini Ramadhan, sama seperti orang kebanyakan, pura-pura menjadi orang paling alim sedunia? Membikin status di facebook seolah dia ustadz idola. Memuakkan! Tiba-tiba saja aku benci dengan wajah kamuflase Mas Farid.
"Anu, Bunda!" Aku ragu-ragu.
"Kangen, ya? Sudah sebulan kau dan Farid tak ke mari. Besok Minggu, kemarilah. Kita buka bersama. May sudah pulang dari Bogor. Suaminya tak ikut. May lagi libur panjang." Bunda terdiam. Keinginan untuk mengungkapkan kegundahan ini, mendadak tawar. Bunda sudah terlalu banyak bercerita. "Baju yang Bunda kasih itu, sudah kau jahit?"
"Belum dijahit, Bu! May ke mana?"Â
"Wah, sudah dekat lebaran, lho! Nanti tukang jahit tak terima lagi." Terdengar suara kresak-kresek di belakang Bunda. "Anu, May lagi buka bersama di rumah temannya."
Akhirnya perbincangan tak beranjak dari masalah Bunda, Bapak, May dan dua keponakanku. Sedikit terlupa aku pada masalah dengan Mas Farid. Mungkin ini belum saat yang tepat berbicara dengan Bunda. Nanti saja kalau ada waktu santai bertemu. Sebenarnya aku ingin, ah... apakah perkara ini membuatku harus memutuskan perang dingin dengan Mas Farid? Apalagi harus bercerai! Tentu keputusan yang terlalu cepat dan fatal.
Malam merambat pelan. Perutku berbunyi. Tapi seolah aku bermusuh dengan makanan. Seperti seorang pendemo, aku puasa makan. Segerah kuraih remote tivi. Kali ini tanganku tak bertasbih. Berita tentang perang menghiasi layar-kaca. Kemudian debat kusir yang membuat seisi rumah ramai. Anehnya, aku tak melihat semua itu. Telingaku seolah got buntu, tak mendengar apa-apa. Hingga suara halus ban mobil melindas batu di halaman depan, membuatku sigap bagaikan harimau menunggu mangsa. Mas Farid pulang. Aku harus siap-siap menjadi hakim yang akan mengadili terdakwa. Cukup sudah dibulan-bulani tipu daya. Cukuplah menjadi perempuan yang selalu kalah dan mengalah.
Pintu depan sengaja tak kukunci. Suara halus langkah terdengar, pintu yang dibuka pelan, kemudian ditutup sama pelan. Ada batuk-batuk kecil. Kemudian seraut wajah melintas di ruang tamu. Seutas tanya; kenapa aku belum tidur? Aku hanya mendengus. Tivi kumatikan. Dia masuk ke kamar, entah untuk apa. Lama baru dia keluar. Mengenakan piyama dan melihat tudung saji. Dia terbatuk lagi, seolah kikuk membuka lemari makan.Â
Inilah kesempatanku. Aku mulai membuka mulut dan berusaha memanggil namanya.Â