"Jadi, anda mau solusinya?"
"Ya, mungkin suatu obat, biar jiwaku nyaman. Juga menimbulkan semangat. Begitu, Pak!" jawabku. Dia terdiam. Berdiri, mendekati lemari. Dibongkarnya tumpukan buku di dalamnya. Memberantakkannya di lantai begitu saja. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya dia menyerahkan buku sangat tebal kepadaku.
"Anda bisa membaca buku ini," sarannya.
"Bagaimana dengan obat yang harus diminum demi proses penyembuhan kejiwaan ini?"
"Obat kejiwaan tak perlu diminum. Obat kejiwaan abstrak dan tak mungkin terlihat. Kita dapat mengobatinya, dengan menenangkan pikiran. Mencari solusinya di dalam buku ini. Cobalah!"
"Kapan aku bisa membacanya?"
Dia mendelik. "Terserah Anda!" Dia geram. Buru-buru aku berdiri sambil menyelipkan dua lembar ratusan ribu ke tangannya yang kasar. Dasar, spesialis kejiwaan yang gila. Dia tak memberikanku solusi apalagi obat. Dia hanya memberikan buku tebal yang mungkin layak dipakai sebagai bantal.Â
Nah, dari semua pemberiannya yang tak berarti itu, aku harus menguras kocek sampai kandas. Pasti akibatnya akan fatal. Pertama, istriku bisa memaki-maki bila tahu uang itu telah kugadaikan kepada si Gondrong. Padahal rencana sebelumnya, uang itu dikhususkan membeli sekarung setengah beras murah Kedua, aku terpaksa mendorong motor dari rumah si Gondrong menuju rumahku. Sebab sisa pembeli sekarung setengah beras murah itu, kurencanakan untuk membeli seliter-dua premium. Ugh, si brengsek itu menipuku!Â
Buku yang tebal itu pun bukan menjadi hakku. Dia hanya dipinjamkan si Gondrong selama seminggu. Terlambat sehari, pasti aku didenda seribu Rupiah. Gila! Seperti di perpustakaan saja. Tapi sudahlah! Mudah-mudahan buku itu bermanfaat bagiku.
* * *
Apa yang kubayangkan sebelumnya memang terbukit. Motor terpaksa kudorong dari rumah si Gondrong sampai ke rumahku. Di rumah aku dimarahin istri habis-habisan. Dan aku tak bisa membalas sekalipun selain menyela, "Sudahlah, Bu! Sudah! Cukup!" Yang paling manjur lagi, buku itu tak berhasil memulihkan jiwaku yang terganggu. Ketika membacanya di tempat tidur, aku hanya diberi kesempatan untuk menguap dan lelap. Buku tebal itu berguna sekedar untuk bantal.