Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuan Gondrong

4 Maret 2019   17:11 Diperbarui: 4 Maret 2019   17:17 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuparkirkan motor di dekat rumah bergaya minimalis itu. Di pintu depannya tertulis sebaris nama; G-o-n-d-r-o-ng. Di bawah nama itu tertulis kalimat berhuruf kecil-kecil. Terpaksa kubelalakkan mata, lalu terbaca sebaris iklan menggoda; solusi masalah kejiwaan, anda bertanya kami beri solusi. Ah, mungkin aku tak salah alamat. Apalagi setelah kuambil guntingan iklan koran di saku baju, alamat si Gondrong memang di tempat ini. Jl. Angsa No. 1005.

Sebelumnya aku memang ragu-ragu memasuki halaman rumah itu. Suasananya sangat tak asri. Beberapa kaleng minuman menumpuk di sudut halaman. Daun-daun kering menggunduk dan dikerubuti ulat. Ada keset kaki yang tak jelas lagi warnanya, antara hitam dan coklat. Sebuah sapu bergagang buntung, menjadi pelengkap bututnya tempat itu. Tapi sekali lagi, aku tak salah. Semua tertulis jelas di pintu rumah dan iklan di koran. Inilah tempatku mengadukan keluh-kesah. Mengenai rasa malas yang menggantungi jiwa terus-menerus. Malas bekerja. Malas di rumah, sebab tak tahan ocehan istri meributkan persoalan ekonomi. 

Aku juga hanya sanggup merutuk tanpa niat mencari tambahan, selain bekerja di sebuah perusahaan MLM, yang hanya memberikanku rejeki "macan". Terkadang aku memperoleh penghasilan menggunung. Cuma lebih sering seret, sehingga hidup bagaikan tikus tercebur got.

Pelan kuketok pintu rumah itu. Kubayangkan seorang pembantu membukanya, lalu tersenyum ramah. Dia akan mengantarkanku ke ruangan  putih bersih. Di dalam ruangan, seorang lelaki pasti duduk tekun di belakang sebuah meja jati, sambil memain-mainkan pena di tangan. Dia berkacamata tebal. Dia buru-buru menurunkan kacamata itu, kemudian mengibaskan rambutnya yang gondrong.

Tapi bayanganku berantakan, manakala seorang lelaki berkepala plontos membuka pintu. Dia tak tersenyum sama sekali. Wajahnya dingin. Dia hanya memberi isyarat dengan gerakan jari tangan, menyuruhku masuk. Dasar pembantu gila, umpatku dalam hati. Kuikuti juga langkahnya memasuki lorong berliku dengan pencahayaan kurang. Bau pengap menusuk. Di dinding terbentuk peta rembesan air, menunjukkan sudah berpuluh bulan tak dibersihkan.

Lelaki itu membuka pintu. Membuka jendela, dan duduk di belakang meja berwarna putih susu. Sebelum dia menyuruhku duduk di atas kursi rotan di depan meja, kuedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang tak tertata rapi. Sebuah cangkir kaleng tanpa tutup, melimpahkan air dari mulutnya. Air kopi yang membuat meja di bawahnya kotor. Tumpukan koran dan majalah, mungkin porno, menumpuk di atas meja. Buru-buru lelaki itu merapikan, kemudian menjejalkannya ke dalam rak di belakangnya.

"Maaf, Tuan Gondrong, ada?" tanyaku.

"Saya Tuan Gondrong!" tekannya. Dia mempersilahkanku duduk, sekali lagi dengan isyarat jari tangan.

Aku gugup. Ternyata orang yang kukira pembantu, adalah Tuan Gondrong sendiri. Aneh juga, nama bisa gondrong, tapi kepala plontos. Orang yang nyentrik. Biasanya, ahli kejiwaan memang suka berdandan nyentrik.

"Ada masalah apa anda ke mari?" tanyanya. Dia menuangkan minuman, seperti beralkohol, ke dalam gelas mungil. Diangsurkannya kepadaku. Aku menjawab dengan senyuman. Tak ada niat sedikitpun mencicipinya. Hanya akan menambah penyakit jiwaku.

Aku pun menceritakan kondisi kejiwaanku belakangan ini. Mengenai rasa malas mencari nafkah, sampai persoalan seks bersama istri. Dia menyimak ceritaku sambil mengangguk-angguk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun