"Aku harus menanyakannya kepada anak-anak dulu, Bu!"
"Mereka sudah sangat setuju, Nab. Apalagi di rumah kita itu ada play station bekas mainan keponakanmu."
Zainab mengangguk-angguk serupa perkutut. Begitu tiba-tiba Lambok muncul di ambang pintu, Hajjah Item langsung pergi tanpa permisi. Dia bagai melihat setan berbentuk manusia. Pun Lambok hanya melengos. Merasa ibu mertuanya hanya akan menambah runyam keluarganya. Tapi ketika tinggal dia dan Zainab yang ada di rumah itu, mulailah dia mengacak-acak dapur. Dia sangat tahu kalau setiap berkunjung, ibu mertuanya selalu membawa penganan yang lezat-lezat.
Piring-piring pun beradu gelas. Panci, kuali, berirama riuh seraya mulut Lambok menceracau. Karena tak ingin rumah kacau-balau, akhirnya Zainab mengeluarkan gulai ayam dari bawah kuali. Jawaban dari suaminya yang menakutkan itu, adalah tendangan, sehingga Zainab terjengkang membentur dinding.
Lalu Lambok kesetanan melahap nasi dan gulai ayam sampai tak bersisa. Dia meraih ceret dan menuangkan isinya langsung ke mulut. Bunyi glek-glek-glek terdengar jelas. Setelah itu dia berkata, "Kenyang!"
Namun tak lama, matanya tiba-tiba mendelik. Lambok terkapar di lantai dengan mulut berbuih. Zainab terkejut melihat suami yang dibenci sekaligus dicintainya itu sekarat. Zainab menjangkau kepala si lelaki yang seketika menggeram, "Ibumu telah meracuniku!" Dan lelaki itu diam bagai gedebong pisang.
Ibuku meracuni Lambok? Zainab membatin. Tak mungkin! Gulai ayam itu kan khusus untuk Zainab dan anak-anak. Mungkinkah Hajjah Item tega meracuni keturunannya sendiri?
Dalam pikiran kalut, mendadak sepasang kaki telah terpacak di sampingnya. Ketika mendongak, dia melihat seraut wajah yang tegang, sepasang mata penuh dendam, dan gemeretak gigi yang mengilukan.
"Lintong! Ayah kau, Nak!" Zainab memeluk anaknya yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Biarlah! Aku yang menaruh racun di gulai itu, Bu! Aku yang menaruhnya biar lelaki itu mampus. Aku tak ingin ibu terus-terusan disiksa. Tamparan demi tamparan lelaki itu di wajahku, adalah pemicu supaya dia mampus!"
Bibir Zainab bergetar. Dia tak tahu apakah hatinya sedih atau senang. Hanya, dia sudah membayangkan kehancuran keluarga yang dijaganya belasan tahun. Lambok telah mati. Lintong akan masuk bui. Dia dan dua anaknya pun tersaruk mengais mimpi.