Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Racun

4 Maret 2019   11:38 Diperbarui: 4 Maret 2019   11:36 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu pun Hajjah Item tak bisa berbuat banyak. Nasib malang  yang menimpa anaknya, telah membuat Hajjah Item hanya bisa mengelus dada. Dulu, semasa Zainab berbau kencur, telah terjadi hal yang memilukan kepadanya. Suaminya, ayah si Zainab itu, telah dirasuk setan. Suatu malam ketika Hajjah Item belum pulang berjualan di Pasar 16 Ilir, Zainab telah dijarah ayahnya sendiri. 

Zainab menjerit ketika hasrat ayah yang bejat itu terlampiaskan. Beberapa tetangga pun merubung di halaman depan rumah. Ancaman dengan golok di tangan ayahnya, tak membuat Zainab takut. Jeritannya bertambah keras, sampai orang merangsek masuk. Lalu ayah yang bejat itu berlari lintang-pukang entah ke mana.

Kejadian itu membuat Hajjah Item sakit hati. Berdua Zainab, mereka mengadu ke kantor polisi. Beruntunglah alat negara itu sigap menangkap  suami Hajjah Item dalam tenggang waktu tiga hari. Hajjah Item sedikit lega. Tapi dia dan anaknya tak bisa lagi tersenyum lepas. Masa depan Zainab hancur sudah. Lelaki mana kelak yang mau menjadi pendamping hidupnya? Dia memiliki wajah yang cantik. Hanya saja tak perawan lagi, plus berstatus perempuan putus sekolah di kelas dua SMP.

Jadi, ketika Lambok menikahi Zainab, Hajjah Item cuma membisu. Lambok tahu, Zainab bekas perkosaan ayahnya. Tapi untuk apa ambil pusing. Dia butuh tempat berteduh dan mencari makan. Dua tempat itu benar- benar dimiliki Zainab.

"Kau meminta diceraikan saja, Nab!" Hajjah Item keluar dari dapur setelah menyembunyikan gulai ayam di bawah kuali. Dia tak ingin Lambok ikut-ikutan menikmatinya. Semua itu dibuatnya susah-payah demi Zainab dan tiga orang anaknya.

"Dia tak sejahat yang ibu pikirkan." Zainab mencoba membela suaminya.

"Tak sejahat yang aku pikirkan? Kau berkaca dulu, Nab. Seluruh dinding di rumahmu ini memiliki telinga. Tetangga-tetanggamu mengatakan Lambok selalu pulang pagi dan marah-marah. Kau hanya dijadikan sapi perah. Sudahlah! Juallah rumahmu ini. Tinggallah di rumahku. Kau hanya memelihara lelaki yang tak tahu diuntung."

Zainab terdiam. Dia melongok ke luar jendela. Anak pertamanya yang sudah duduk di kelas dua SMP, belum pulang. Hmm, hatinya trenyuh. Betapa dia mulai cemas setelah anaknya itu tumbuh besar sepantaran ayahnya. Bukan apa-apa, Lintong, anaknya itu, mulai senang berontak. Dia memang tak berontak kepada Zainab. Dia hanya tak senang kepada Lambok yang sudah sangat keterlaluan. Berkali-kali dia menyuruh Zainab meninggalkan lelaki yang tak tahu diuntung itu. Berkali-kali juga dia turut campur manakala Lambok membuat ulah. Ujung-ujungnya Lintong sering terkena sasaran tangan Lambok yang kasar. Klempang-klempung, tangan itu beradu dengan kulit wajah Lintong yang putih sehingga memerah. Tapi sungguh, Zainab sudah melihat magma di mata anaknya. Dia takut suatu waktu meletus. Lalu menjadi bencana di dalam keluarganya.

"Bagaimana, Nab?" Hajjah Item menatap lembut.

Zainab melumat-lumat otaknya. Dia menyadari meninggalkan Lambok adalah jalan terbaik. Tapi apa mungkin dia sanggup meninggalkan lelaki yang telah limabelas tahun menggaulinya itu. Sanggupkah dia menjanda, kemudian menjadi bahan gosip para ibu? Sanggupkah dia membiarkan anak-anaknya tanpa seorang ayah?

"Tak usah berpikir terlalu larut, Nab. Aku telah membuat rencana yang cukup matang untuk kalian. Di depan rumah kita itu, akan kubangun  sebuah warung makan kecil. Jadilah, tempat menjual nasi dan lauk-pauknya, ditambah empek-empek juga model, tekwan. Mengenai warung manisanmu, biarlah dipindahkan ke ruang tamu rumah kita. Di situ kan kosong melompong. Selalu sepi, setelah seluruh saudaramu pergi mencari penghidupan di tempat lain. Bagaimana, Nab?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun