Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Racun

4 Maret 2019   11:38 Diperbarui: 4 Maret 2019   11:36 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Toples-toples itu berhamburan di depan warung manisan Zainab. Seorang anaknya yang ingusan, menangis sejadi-jadinya sambil berselonjor di atas tanah dan menghentak-hentakkan kaki. Sementara Zainab terdiam di kursi rotan di ruang tengah rumah, menatap kosong ke depan. Suara musik dangdut dari tetangga sebelah, menyayat, mendayu-dayu, melindas kekacaubalauan di rumah itu.

Sungguh telinga Zainab seperti ditutupi gumpalan tanah, sehingga dia bagai batu-mati. Sungguh hati Zainab seperti dibalut lendir menggumpal-gumpal, sehingga dia tak tergerak, jatuh-iba pada tangis anaknya. Dia sedang dikecamuk perasaan tak menentu sekarang ini. Apa pasal? Karena suaminya, si Lambok itu, telah berbuat seperti kebiasaannya setiap hari. Pulang ke rumah tetap dalam kondisi mabuk dan mulut berbusa. 

Melihat hanya nasi putih serta cabe rawit yang ada di bawah tudung saji, hati lelaki yang galak itu meradang. Dia mengamuk bagaikan banteng. Mengacau-ngacau isi warung, sampau suasana gaduh. Sampai anaknya terbangun dari tidur, lalu mengadukan tangisnya pada tanah yang tak paham apa-apa. 

Kemudian Lambok pergi. Dia tak perduli telah melukai hati Zainab. Seperti biasa juga, dia akan mendekam di rumah janda di pinggir kali. Entah apa yang dilakukannya di sana, Zainab tak tahu dan tak mau ambil pusing. Bertanya-tanya kepada lakinya itu, sama saja membangunkan macan tidur. 

"Kau bertengkar lagi dengan Lambok, Nab?" Hajjah Item muncul di ambang pintu sambil menggendong budak yang meraung-raung sejak tadi. Tapi sekarang dia sudah diam dengan mainan lollipop yang menyumpal mulutnya.

Hajjah Item adalah ibu Zainab.

"Nab?" tanya Hajjah Item seraya duduk di hadapannya. Zainab kelabakan. Dia bergegas menghapus air mata yang membuai kelopak matanya yang membengkak.

"Tidak, Bu!"

"Bagaimana tidak, Nak? Toples-toples di luar itu apa? Matamu yang bengkak apa? Jangan suka berbohong, Nab. Jangan menutup-nutupi kesalahan suamimu itu." Anak kecil dengan lollipop di mulut itu berontak, kemudian melesat ke luar mendengar kekanak riuh mengejar layangan putus.

Ah, sudah sejak dulu memang Hajjah Item tak menyetujui pernikahan Zainab dengan Lambok. Dia yakin anaknya itu akan sengsara. Lambok pengangguran. Sehari-harinya dia hanya memalak bis kota dan angkot-angkot kecil. Sudah tiga kali dia digaruk polisi. Sayang tak sadar-sadar juga. 

Sedangkan pemarah lelaki itu tak ketulungan. Manalah pula preman seperti dia memiliki hati lembut. Lingkungan yang keras telah menempanya menjadi mata pedang yang sangat tajam. Dia semakin tajam manakala hampir setiap malam memabukkan diri dengan sebotol cap kunci. Padahal dia sudah memiliki tiga orang anak. Namun sekalipun dia tak menyadari telah menjadi ayah. Dia merasa masih membujang. Dia merasa tak perlu mencari nafkah demi menyuapi lima mulut (termasuk dirinya) di rumah. Bagaikan jamur, dia ibarat jamur beracun. Sudah membunuh tumbuhan lain, eh... dimakan pun tak bisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun