Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | El Camino De La Muerta

27 Februari 2019   10:43 Diperbarui: 27 Februari 2019   10:50 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kedai kopi menyambutku dengan senang hati. Duduk di meja sudut, membuatku bisa melihat jauh ke utara, melintasi jalan terjal dan penuh jurang. Ini pekerjaan pertamaku sebagai imigran gelap; sopir truk. Segelas penuh kopi dan dua potong roti yang pinggirannya sedikit gosong, menjadi teman hangat pagi ini.

Hanya setengah jam bersantai. Keluar dari kedai kopi, seolah ada yang memerhatikanku. Seorang perempuan aneh di seberang jalan. Dia mengenakan pakaian hitam, lebih mirip ponco alias jas hujan. Dia, entah kenapa, tiba-tiba menyeberang ke arahku. Mungkin ada yang menarik minatnya di kedai kopi. Terserahlah! Aku memilih membuka pintu truk, lalu duduk di belakang kemudi.

"Maaf, saya mengganggu anda!" Ada yang menegurku dengan bahasa Inggris patah-patah.

Aku terkesiap. Nyaris terjengkang ke luar melewati pintu truk yang masih terbuka. Entah kapan perempuan berpakaian hitam itu duduk manis di jok. Aku tak mendengar sama sekali suara pintu dibuka. Sekelebat cerita tentang El Camino De La Muerta1), segera kubuang dari isi kepala. O, Bolivia, sama saja dengan Indonesia. Tapi, aku bukan pengecut! Pengecut tak boleh disematkan kepada seorang imigran gelap.

"Boleh saya menumpang? Nanti turunkan saya di sebuah  kedai di ujung El Camino De La Muerta." Dia menatapku dengan kornea mata biru terang. Kornea mata yang cantik.

"Anda tahu saya bukan orang asli kota ini?" Aku mencoba tenang. Dan aku tetap selalu tenang, bahkan untuk masalah genting sekalipun. Kunyalakan mesin. Truk melaju pelan melewati jalan menanjak, kemudian menurun. "Untuk orang secantik anda, selalu ada tumpangan."

"Ya, saya dapat menebak dengan rambut hitam dan kulit coklat anda. Ehm, terima kasih atas pujiannya."

"Tak usah memakai bahasa Inggris. Saya termasuk cepat bisa mengerti bahasa kota anda, kendati untuk mengucapkannya masih patah-patah."

Angin menghempas dari jendela. Bergegas kunaikkan kaca jendela di sebelahku, juga di sebelah perempuan itu.

Kemudian bermulalah cerita tentang El Camino De La Muerta dari mulut perempuan itu. Dia menyebutku lelaki pemberani. Melewati El Camino De La Muerta adalah seperti melewati gerbang kematian. Akan banyak cerita yang menyeramkan, yang mengawali kematian. Yaitu, dengan kemunculan hantu di kursi belakang mobil.

Cerita yang membuat tahi kupingku terasa bertambah menyumpal. Aku tertawa saja. Sama tertawanya aku ketika mendengar cerita Juan---orang yang mempekerjakanku menjadi sopir truk. Mereka belum tahu betapa banyaknya cerita menyeramkan khas Indonesia.

"Di negara saya hantu lebih parah dari di sini. Hantu bisa dipelihara. Namanya tuyul. Bahkan manusia hantu juga banyak. Sesekali anda harus ikut ke negara saya. Ada juga hantu korupsi yang lebih parah dari tingkah laku hantu sebenarnya." Mataku awas melihat jalan sempit, menanjak dan berliku. Kota sebesar ini ternyata masih memelihara jalan tanpa pagar, bahkan lebih menyeramkan dari kelok sambilan2). Kuseka keringat sambil menawarkan perempuan itu sekaleng minuman ringan.

Untuk kedua kalinya aku terkesiap. Tak ada siapapun di sebelahku. Ke mana perginya perempuan itu?

Rem kuinjak dalam-dalam. Perempuan itu tengah berdiri hampir lima meter di depan truk. Aku seperti bermimpi ketika truk menghantam sesuatu. Perempuan itu pasti telah mati. Masalah pertama, dan masalah paling berat bagiku, bahwa seorang imigran gelap telah menjadi pembunuh.

"Tempat ini memang menyeramkan. Dalam sebulan telah tiga orang mati mengenaskan, termasuk lelaki ini. Mungkin pemerintah harus menutup jalan ini untuk kendaraan bermotor. Biar aman, orang bersepeda saja." Seseorang berbicara di dekatku. Mataku masih pedih untuk dibuka.

"Siapa yang sanggup bersepeda untuk menempuh jarak yang lumayan jauh dengan kondisi banyak tanjakan begini?" Suara kecil tapi tinggi, menjawab. Mataku bisa membuka. Seseorang di dekatku dan juga temannya berbicara, berseragam polisi. Saat ingin menyapa mereka, baru aku tahu lelaki yang mati itu adalah aku. Di seberang jalan,  seorang perempuan berpakaian hitam tertawa bahagia.

Ada tepukan lumayan keras menerpa bahuku. Lelaki berperut tambun yang melakukannya. Roman mukanya kurang senang. Katanya, "Kedaiku hanya untuk minum kopi, bukan tempat tidur. Pergilah, sebelum aku berubah pikiran."

Aku keluar dari kedai. Hmm, ternyata cerita Jalan Kematian atau El Camino De La Muerta, telah membuatku bermimpi buruk. Kubuka pintu truk, dengan perasaan tak nyaman. Seorang perempuan berpakaian hitam, tengah berdiri menatapku di seberang jalan.

1.Nama jalan di Bolivia yang artinya Jalan Kematian.

2.Sebutan untuk tikungan tajam untuk sebuah jalan di Sumatera Barat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun