Tumbal kesal beradu sedihku, akhirnya tertuju kepada Ibu. Dia telah membohongiku. Kenapa dia tak berterus-terang kepadaku perihal Ayah? Bisanya hanya menunduk, mengajak makan, atau berdiam seperti mencintai sepi.
Karena hati ini terasa tertikam, tiba-tiba benciku kepada Ibu menjelma tunas. Aku sengaja menahan kantuk hingga dia tertidur. Kutelisik rambutnya. Gembok itu masih ada. Biarlah kubuka saja. Biarlah dia menjadi kuntilanak dan kembali ke asalnya.
Kucari kunci gembok itu di lemari pakaian seperti mimpiku yang sudah. Di setiap lipatan celana Ayah, tanganku telaten meraba. Aha, akhirnya tanganku menyentuh kunci itu!Â
Ajaib! Kau pikir aku berhalusinasi? Ah, tidak. Ini memang benar-benar nyata!
Kubuka gembok di kepala Ibu. Kubuang gembok beserta kuncinya ke dalam sumur. Kemudian kupelototi Ibu. Berharap dia tersentak dan terbang ke langit. Tapi sampai mataku berat, tak terjadi apa-apa. Hanya suara napas Ibu beradu desah ombak meningkahi kamar. Yakinlah aku semua ini hanya halusinasi.
Pagi harinya aku tersentak mendengar suara tangis yang sangat menyayat. Kulihat Ibu duduk di beranda depan. Dia terpekur. Dialah yang menangis itu. Air matanya laksana hujan membasahi pasir pantai.Â
Meski kuguncang bahu Ibu, menyuruhnya berhenti menangis, tangisannya malahan semakin besar. Air matanya laksana air bah.Â
Aku menemui Morang. Kukatakan tentang Ibu yang menangis. Morang menemui beberapa nelayan. Dia katakan tentang Ibu yang menangis. Lalu, kami semua berkumpul mengelilingi Ibu.Â
Dari cerita Morang dan mulut para nelayan, aku memiliki Ibu baru di pulau seberang laut. Itulah yang membuat Ibu menangis. Atau, dia menangis tersebab gembok itu kubuka?
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H