Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gembok di Kepala Ibu

25 Februari 2019   10:37 Diperbarui: 25 Februari 2019   11:12 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tumbal kesal beradu sedihku, akhirnya tertuju  kepada Ibu. Dia telah membohongiku. Kenapa dia tak berterus-terang kepadaku perihal Ayah? Bisanya hanya menunduk, mengajak makan, atau berdiam seperti mencintai sepi.

Karena hati ini terasa tertikam, tiba-tiba benciku kepada Ibu menjelma tunas. Aku sengaja menahan kantuk hingga dia tertidur. Kutelisik rambutnya. Gembok itu masih ada. Biarlah kubuka saja. Biarlah dia menjadi kuntilanak dan kembali ke asalnya.

Kucari kunci gembok itu di lemari pakaian seperti mimpiku yang sudah. Di setiap lipatan celana Ayah, tanganku telaten meraba. Aha, akhirnya tanganku menyentuh kunci itu! 

Ajaib! Kau pikir aku berhalusinasi? Ah, tidak. Ini memang benar-benar nyata!

Kubuka gembok di kepala Ibu. Kubuang gembok beserta kuncinya ke dalam sumur. Kemudian kupelototi Ibu. Berharap dia tersentak dan terbang ke langit. Tapi sampai mataku berat, tak terjadi apa-apa. Hanya suara napas Ibu beradu desah ombak meningkahi kamar. Yakinlah aku semua ini hanya halusinasi.

Pagi harinya aku tersentak mendengar suara tangis yang sangat menyayat. Kulihat Ibu duduk di beranda depan. Dia terpekur. Dialah yang menangis itu. Air matanya laksana hujan membasahi pasir pantai. 

Meski kuguncang bahu Ibu, menyuruhnya berhenti menangis, tangisannya malahan semakin besar. Air matanya laksana air bah. 

Aku menemui Morang. Kukatakan tentang Ibu yang menangis. Morang menemui beberapa nelayan. Dia katakan tentang Ibu yang menangis. Lalu, kami semua berkumpul mengelilingi Ibu. 

Dari cerita Morang dan mulut para nelayan, aku memiliki Ibu baru di pulau seberang laut. Itulah yang membuat Ibu menangis. Atau, dia menangis tersebab gembok itu kubuka?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun