Ada yang hilang setelah Biyuh tak di rumah. Tak ada lagi suara cemprengnya ketika menyanyikan lagu dangdut. Suaranya itu, oh, membuat telinga sakit. Belum lagi tingkahnya yang lucu ketika memberi makan si kecil Wiwid.Â
Ada-ada saja yang membuat anakku itu tertawa, sehingga Biyuh akan mudah memasukkan sesendok besar nasi tim ke mulut mungil itu. Dia juga rajin. Bahkan teramat rajin. Aku tak tahu kapan dia istirahat.Â
Puas membereskan dapur dan meja makan pagi-pagi, baru mengurusi Wiwid. Selebihnya dia menyapu seisi rumah dan halaman, mencuci pakaian, menyeterika siang harinya. Ketika pulang kerja, aku telah menemukannya sibuk menyirami tanaman. Seperti biasa dia berkata, "Pakaian kerja besok sudah di taruh di atas kasur, Mas, Tuan!" Dia pasti tersipu-sipu.
Dia tak bisa memanggilku dengan sebutan satu kata saja; Mas, atau Tuan. Menurutku lebih baik dia memanggilku Mas. Umur kami tak bertaut jauh. Dia duapuluhenam tahun, dan aku tigapuluhan. Dia merasa tak enak memanggilku Mas. Kurang sopan. Dia pembantu dan aku majikan.Â
Tapi itulah masalahnya. Tatkala dia berkomitmen memanggilku Tuan, tetap saja dia menyebutnya dua-dua; Mas, Tuan.... Ah, menggelikan! Tapi tak apalah. Mungkin dia orang yang cepat kikuk. Yang penting rumah dan anakku selalu diurus baik-baik. Jadi, aku dan istri yang pekerja kantoran---pergi jam delapan pulang jam empatbelas---tak risau atau was-was.
Seperti kukatakan sebelumnya, dia tak lagi berada di rumah. Aku tak tahu penyebab istriku tiba-tiba menyuruhnya istirahat bekerja. Dia dipulangkan ke dusun berikut seluruh pakaiannya, oleh-oleh dan gaji serta uang tambahan. Itu namanya bukan istirahat lagi, melainkan diberhentikan!
"Biarlah dia istirahat dulu. Dia kan capek," jawab istriku membela diri pagi itu.
"Istirahat? Kenapa harus membawa seluruh pakaiannya?" kejarku.
"Papa ini, kenapa sih terlalu memikirkannya?" Istriku kesal. Bila kondisinya demikian, lebih baik aku diam. Kalau ngambek, sifat istriku jelek. Dia tak akan mau makan dan minum. Tiduraaaan terus! Yang kutakutkan sakit maagnya kambuh.Â
Jadi, terpaksalah aku mengalah. Diam seribu bahasa. Aku hanya bisa menyesali kepergian Biyuh. Pasti kelak akan banyak perubahan, yang pasti menjurus jelek, di rumahku ini. Anak kami siapa yang mengurus? Rumah tentu amburadul, kotor dan bau.Â
Ya, ya! Memang Istriku sudah mengantisipasinya duluan. Ketika kami pergi bekerja, Wiwid diantar ke tempat mertuaku. Pulang kerja, sebelum menjemput Wiwid, istriku membereskan seisi rumah. Mengenai makan-minum, semua bisa dibeli. Di depan rumah ada restoran Padang, sehingga tak perlu bingung-bingung menghadapi tuntutan perut.