Dunia persinetronan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meramaikan pertelevisian. Hal ini tentu menjadi berkah bagi pegiat tulis menulis utamanya fiksi. Saya masih ingat sinetron "Si Doel  Anak Sekolahan" begitu booming di tahun 90'an. Sinetron  bergenre drama komedi ini sebenarnya lebih tepat sebagai gambaran kehidupan masyarakat. Kehidupan yang tak neko-neko, apalagi sampai membuat kening berkerut.
Kita tak dapat juga pungkiri bahwa pertumbuhan sinetron yang seperti cendawan di musim hujan, sama sekali tak bisa menggerus eksistensi Si Doel dari hati pemirsanya. Bahkan ketika Si Doel merambah dari layar kaca ke layar lebar dengan aktor yang rata-rata sudah gaek, tak membuati uforianya lenyap. Masih ada histeria penonton demi mengulang kenangan lama.
Saya tak ingin berpanjang-panjang tentang Si Doel. Biarkanlah dia menjadi monumen kebangkitan persinetronan yang belum bisa digoyahkan.
Sejujurnya, sinetron-sinetron sekarang lebih banyak temanya kurang mendidik. Seperti kisah percintaan cengeng, bahkan dibumbui permusuhan antar pasangan. Kisah orang kaya dan orang miskin yang cenderung berujung perebutan harta dengan menghalalkan beragam cara. Kisah yang setiap episodenya melulu perkelahian, pertengkaran, seringkali tak menyuguhkan apa tugas sinetron. Sinetron itu salah satu bidang hiburan. Yang namanya hiburan tentu akan membuat penonton sedikit banyak bisa melupakan masalahnya, meski hanya sementara. Nah, ini kok terbalik! Hiburan malahan menambah masalah.
Tentu saya tidak bisa protes bila alasan pegiat sinetron membuat kisah-kisah tak mendidik, murni mengikuti selera penonton. Saat penonton banyak, rating akan naik. Ketika rating naik, pendapatan pun meningkat dari iklan yang datang bertubi-tubi.
Mungkin sebagai awam dalam persinetronan, saya harus menerima kondisi ini. Hanya saja akal sehat saya sebagai penulis fiksi tidak bisa menerima kondisi yang saya lihat sekarang. Â Apakah tidak lucu ketika iklan bertingkah sangat arogan pada sebuah sinetron?
Dari dulu iklan-lah yang membuat sinetron bertahan hidup. Namun, kenapa sekarang iklan seperti arogan? Biasanya iklan hanya muncul ketika jeda pemutaran sinetron dengan bintang iklan khusus. Kenapa sekarang iklan ujug-ujug masuk dalam kisah sinetron dan bintang sinetron menyambi sales? Kondisi ini terjadi hampir beberapa bulan ini, dan membuat saya semakin tidak simpati pada sinetron Indonesia.
Apakah para kreditur dalam pembuatan sebuah sinetron tidak memikirkan bagaimana perasaan penulis naskah dan sutradara ketika karya mereka diacak-acak. Mereka sangat menjaga agar benang merah tidak putus. Bagi penulis naskah dan sutradara, sinetron hasil karya mereka merupakan bayi merah pujaan yang harus dijaga.Â
Tentu sangat tidak enak jadinya ketika kita memasak, ada orang yang memasukkan bahan lain ke masakan itu.
Lalu, bagaimana pula perjuangan para aktor atau artis sinetron yang sangat mendalami cerita sehingga mereka berurai air mata, tiba-tiba disuruh menjadi sales sambil tertawa? "Ini enak lho, keju dari anu, dilapisi coklat. Cara makannya kayak gini, bla-bla-bla." Setelah itu aktor dan aktris kembali menangis.Â
Terus terang di sinetron-sinetron luar negeri saya belum pernah melihat hal beginian; aktor dan aktris sebagai bintang merangkap sales. Norak, amat sangat norak!