Hujan bulan April menjamah kota, ramai-ramai, telanjang kaki, terbuka dada, menyerahkan kepala kepada selembar penyicip dapur, tapi, esok lusa kau tukar raga dengan kelu tak sudah, lima tahun itu sangat lama merajut asa, menjahit kata, kau sadar telah kehilangan bendera.
Andai kata terenggiling, keong, rumah siput, setelah benar memilih bilik isteri, bilik hati hanya desau angin, debu ibarat piramida mimpi, ketika berembus hilang cerita pada mata kelilipan, kelilipan lima tahun, seketika lorong kata yang kehilangan cahaya, pada hujan, hutanmu bolong, kenapa kisah tak kau ukir di batang bambu.
Hari ini aku masih ragu, antara memuntahkan isi kepala, menelan pada perut, sebab isi kepala terkadang hanya sarang laba-laba, besok sehari-dua perut merasakan gelisah kenyang dari palsu-palsu, mata-mata, mata uang memisau.
Salahkah aku, mereka, kau, kalian, membiarkan jarum hujan melobangi ingin, semua ragu kalau hujan ini menjelma hujan air mata, mudah-mudahan semua hanya bercanda pada langit yang luka.