Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lencana Mahmud

18 Februari 2019   14:25 Diperbarui: 18 Februari 2019   14:50 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahmud tergeragap. Dia bersimbah keringat. Bayang-bayang lelaki di dalam mimpinya itu mengacau benak. Lelaki itu menyerahkan Mahmud sebuah lencana berwarna putih susu. Seperti mata cincin yang besar. Berpengikat emas dan peniti pengait, juga dari emas. 

"Mimpi sialan!" gerutunya sambil membalik bantal karena ingin melanjutkan tidur tanpa ingin mengulang mimpi yang sama. Tapi dia terkejut melihat sesuatu di bawah bantal itu. Sebuah lencana. Tepat seperti yang diserahkan lelaki itu. Apakah dia masih bermimpi atau memang ini kenyataan? Suara azan shubuh membuatnya yakin itu adalah kenyataan. Bergegas dia mengambil wudhuk dan iseng-iseng mengenakan lencana itu.

"Imam Habib sakit, Mud. Baiknya selepas shalat, kita ke rumahnya saja." Kairun menyambut Mahmud di depan pintu masjid. 

Imam Habib sakit? Mahmud lekas mengimami shalat shubuh dengan belasan makmum. Mahmud tahu beberapa hari belakangan ini, Imam Habib selalu kelihatan lesu. Ternyata pagi ini penyakitnya lumayan parah. Kalau sekadar flu atau demam, Imam Habib selalu datang ke masjid untuk mengimami shalat.

Dan entah kenapa pula, ketika di rumah Imam Habib, Mahmud mengambil gelas berisi air putih di atas meja. Dia membaca bismillah kemudian meminumkan air putih dalam gelas itu kepada Imam Habib.

"Kau seperti orang pintar saja, Mud," celoteh Kairun. Mahmud tertawa, dan berkata dia hanya iseng. Siapa tahu doanya didengar Allah dan menyembuhkan penyakit Imam Habib.

Setelah itu Mahmud pulang ke rumahnya dengan pikiran dibanduli masalah sakitnya Imam Habib. Bahkan ketika akan mengimami shalat lohor di masjid, dia malahan cemas kalau-kalau usia Imam Habib tak akan lama lagi. Tapi dia akhirnya harus terpana karena tiba-tiba si imam hadir di masjid dengan kondisi segar bugar.

"Wah, Imam Habib sudah sehat. Syukurlah!" ucap seorang jamaah.

"Ya, tangan dingin Mahmud memang mustajab. Perantaraan air putih yang diminumkannya kepadaku, tiba-tiba saja aku langsung merasa segar dan sehat. Wah, kau bisa menjadi dukun hebat!" canda Imam Habib.

Semenjak itu Mahmud tak hanya dikenal sebagai orang yang taat beribadah, jujur, juga memiliki kemampuan membantu kesembuhan penyakit seseorang. Mulanya dia sebenarnya enggan disebut sebagai orang pintar, apatah lagi sampai bergelar dukun hebat. Namun kenyataannya jabatan baru itu harus dia terima dengan ikhlas. Ketika orang butuh bantuan, toh tak pada tempatnya dia menolak. Membantu orang sakit agar sembuh, pahalanya besar.

Begitulah, dengan sangat cepat Mahmud terkenal hingga ke kampung-kampung tetangga. Dia dipanggil untuk mengobati orang yang sakit ringan sampai berat. Mahmud pun sadar bahwa lencana yang dia pakai mempunyai pengaruh besar. Bila dia mengenakan lencana itu ketika mengobati pasien, ajaib pasien lekas sembuh. Kendati obat yang diberikan hanya air putih. Konon ketika Mahmud sengaja tak mengenakan lencana itu ketika mengobati pasien, si pasien bakalan tak sembuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun