Perkara ibadah, jangan tanya lagi. Mahmud selalu menjadi panutan orang kampung. Setiap ada hajatan, kendati sekadar membaca doa, dia tetap diajak. Ibarat garam dalam makanan, maka tanpa Mahmud, setiap acara akan hambar.
Hingga tak terhitung kemudian orang yang berusaha mengoyak imannya. Seperti ketika dia diamanahi Haji Syafei menjual sebidang tanah. Beberapa orang langsung tergiur. Selain di pinggir jalan, posisi tanah itu dekat dengan jubelan rumah penduduk.
"Bagaimana Pak Mahmud? Setuju kan kalau tanah itu Bapak lepaskan kepada saya?" Lelaki perlente itu menepuk-nepuk tas hitam yang dia pangku. Mahmud membuang pandang. "Pokoknya berapa persen yang Bapak inginkan dari harga jual, saya usahakan."
"Tapi saya tak mau di tanah itu didirikan pabrik!"
"Lho, pabrik kan berguna banyak? Orang-orang di kampung ini tak akan seorang-dua bekerja di sana. Ratusan!"
"Tapi untuk pabrik minuman saya tak mau."
"Alkoholnya sedikit, Pak!"
"Sedikit atau banyak, kalau yang namanya haram, tetap haram juga."
Lelaki itu pergi dengan mata seolah akan lepas dari sangkarnya.
Bila dirunut-runut, sudah tak terhitung rasanya godaan demi godaan menerpa Mahmud. Tapi itu tadi, dia bergeming. Ketaatan beribadah, membuat imannya seibarat benteng yang terbuat dari baja. Bahkan setan saja berulangkali harus bertekuk lutut, kemudian lari tunggang-langgang meninggalkan kekukuhan iman seorang Mahmud.
* * *