Saya amat gelisah ketika mendengar musik lembut itu menelusup dari sela-sela ventilasi ruang yang membekap saya. Saya membayangkan musim gugur entah di mana. Bunga-bunga jatuh dan menyatu dengan tanah. Daun-daun diterbangkan jauh ke negeri antah. Dan sungguh saya merasa sepi. Sesepi berdua bersama labtop lama saya.
Saya merasakan sakit menyela-nyela dada. Saya merasa terbuang dari keramaian. Terbuang dari jemari-jemari yang sangat menyayangi saya. Apakah salah bila akhirnya saya mengurai air mata, meski saya sejatinya seorang lelaki? Saya harus tegar! Tapi sayang, saya tetap luluh pada segala yang membuat saya harus luluh.
"Kau tetap ingin menjadi penulis, Fan?" Terngiang suara itu. Kenangan yang hampir menyebabkan saya lupa masih bisa bernafas. Mata perempuan itu seperti melindas hidup saya. Saya merasa terkapar. Keringat menjalari telapak tangan ini.Â
"Ya, aku merasa itulah jalan terbaik untukku!" Saya meremas rambut yang berminyak ini. Mata saya berkaca-kaca. Saya yakin kejadian selanjutnya, perempuan itu akan menjauh, dan menganggap saya pecundang. Lebih menyakitkan lagi, dia tentu memutuskan hubungan kasih kami yang terjalin hampir lima tahun. Lima tahun! Masa yang lumayan lama, dan harus kandas karena prinsip hidup yang saya ambil dianggapnya ganjil.
"Jalan terbaik? Kau gila, Fan? Bagaimana kuliahmu di fakultas ekonomi? Bagaimana dengan nilai-nilaimu yang memukau? Bagaimana dengan predikatmu sebagai mahasiswa teladan? Mahasiswa yang setiap tahun memperoleh beasiswa!" Perempuan itu terlihat sangat tak sefaham dengan saya. Saya merasakan seperti air yang ingin memeluk minyak tanah. Tak akan ketemu! Tak mungkin bersatu!
"Ya, terpaksa kulupakan semuanya! Setelah sekian tahun menjalani hidup dengan angka-angka, untung-rugi, ternyata aku tak bisa berpisah dengan dunia nuraniku. Dunia menulisku, An! Tak peduli bila ternyata aku dianggap jago di bidang ekonomi. Tapi aku merasa seperti pesakitan dihimpit angka-angka. Aku merasa lebih mencintai huruf ketimbang angka!" Hati saya patah. Pesawat yang melintas di atas kepala kami seperti pertanda bahwa Anita, perempuan di sebelah saya, segera pula berbuat serupa pesawat. Dia akan meninggalkan saya, mungkin selama-lamanya. Dia pasti memilih lelaki yang cakap ekonomi, dan hidup-mati demi memperjuangkan harta, sebagai kekasih barunya.
"Kau tak akan bisa melamarku, Fan!"
"Kenapa?"
"Karena kau tak mungkin memiliki uang berlebih. Apa yang bisa diandalkan dari seorang penulis? Ketakpastian!" Anita benar-benar membuat saya mati kutu. "Kalau saja kau tetap kepada keputusan awal, menjadi calon ahli ekonom handal, maka apa saja yang ingin kau raih, akan datang menghamba kepadamu."
"Begitukah?" Saya menatapnya nanap.
"Ya!"