Salmiah adalah perempuan gendut yang berjualan di pinggir pasar. Usianya tiga puluh lima tahun. Dia dipanggil Mak Sirin. Bukan berarti nama anaknya Sirin. Dia sama sekali belum menikah. Sirin itu nama kucing yang setia menemaninya berjualan.
Meskipun tidak ada lelaki yang mendekati Salmiah, tapi para perempuan sering merubunginya. Dari yang namanya ibu-ibu, sampai gadis beranjak dewasa.Â
Salmiah bisa membuat perempuan yang tidak bisa memasak, menjadi koki super hebat. Dia menjadi guru masak yang handal. Bumbu yang diraciknya membuat setiap makanan menjadi enak. Misalnya, ketika seseorang buta sama sekali cara membuat rendang, Salmiah akan meramu sedemkian rupa.
Dia menjelaskan kepada pembeli bagaimana langkah-langkah membuat rendang. Dan hasilnya ajaib, rendang tersebut menjadi sangat enak di tangan perempuan yang sama sekali buta memasak.
Padahal boleh dikatakan, tempat Salmiah berjualan, jauh dari layak. Lokasinya di sudut paling sudut pasar. Menyempil di dinding toko kelontong. Atap tempatnya berjualan sudah banyak yang bolong.Â
Apabila gerimis tiba, terpaksa seluruh bumbu ditutup kain terpal. Tapi, kalau gerimis menjadi hujan yang sangat deras, seluruh bumbu dipindahkan ke rumahnya. Itu artinya dia berhenti berjualan. Meskipun begitu, tetap saja pembeli mengejarnya.Â
Tersebutlah Roji yang berjualan dalam toko permanen. Jauh dari becek. Bila hujan deras mengguyur, dia tetap aman berjualan. Tokonya paling tinggi di antara toko lain. Hanya saja tokonya sering sepi pembeli. Dia heran, kenapa bisa demikian. Padahal bumbu racikannya bermacam-macam. Apa yang dijualnya sama seperti yang dijual oleh Salmiah. Bahkan jualannya melebihi Salmiah.
Tapi, dia tak mengerti sama sekali dengan memasak. Bumbu raciknya sebagian dibuat oleh karyawannya. Sebagian lagi buatan pabrik. Bila ada pembeli yang buta memasak, maka dia tetap buta memasak. Bumbu racik yang dibelinya dari toko Roji tak berkhasiat sama sekali.
Suatu hari yang cerah, sengaja Roji menutup tokonya. Dia pergi ke tempat berjualan Salmiah. Dia terbelalak melihat pembeli yang berjubel. Hampir dua jam dia baru bisa lebih dekat dengan Salmiah. Itu pun karena bumbu racik yang dijual si Mak Sirin hampir habis.
Perempuan itu terkejut melihat kedatangan Roji. Apa gunanya dia ke tempat Salmiah berjualan? Bukankah jualan mereka serupa? Atau? Salmiah berusaha melemparkan senyuman termanis, "Eh, Mas Roji. Tumben-tumbenan ke mari." Segera dia ambil kursi untuk tamunya itu.
"Aku mau lihat-lihat saja. Hari masih siang begini, bumbu racikmu hampir habis. Hebat!" Roji mengedarkan pandang, lalu dia tersenyum. Berdetak juga hati Salmiah. Dia curiga Roji iri atau ada maksud apa. Tapi, ternyata dia hanya heran melihat bumbu racik yang dijual Salmiah, laris bagaikan kacang goreng.Â
Saran Roji, lebih baik Salmiah berjualan makanan saja. Salmiah kan jago bumbu! Bahkan dia sangat ahli memasak. Para pembeli yang tidak bisa memasak, bisa menjadi koki hebat. Mereka mendapat pujian dari suami atau orang tua mereka. Padahal yang harus mendapat pujian itu Salmiah.
"Maksud Mas Roji?" Salmiah melayani seorang pembeli. Pembicaraan mereka berhenti sejenak.Â
"Maksudku kenapa bukan kau sendiri yang memasak. Kau berjualan makanan saja. Untungnya lebih banyak dari bumbu racik. Kau bisa memperbaiki tempat berjualan ini. Bahkan kau bisa menyewa atau malahan membeli toko seperti milikku. Apa kau tetap ingin seperti ini?"
Salmiah hanya tersenyum. Perbincangan mereka terhenti karena tiba-tiba hujan turun deras. Tapi, saran Roji terngiang-ngiang terus di telinga perempuan itu.
Ah, mungkin saja Roji hanya iri karena merasa tersaingi. Bila Salmiah beralih menjadi penjual makanan, otomatis saingan Roji akan berkurang. Ya, ya. Mungkin saja lelaki itu hanya tersaingi.
Berminggu-minggu setelah perbincangan itu, Salmiah masih bimbang. Seandainya niat Roji tulus ikhlas, bisa jadi hidup Salmiah bisa menjadi lebih baik. Dia tidak lagi berjualan di tempat becek, yang selalu harus janbar alias kalau hujan harus bubar.
Dua bulan setelah dirundung kebimbangan, tiba-tiba Salmiah menuruti saran Roji. Tempat jualannya diubah menjadi lebih luas. Agar tidak selalu becek, dia mendapat pinjaman uang dari Roji untuk menyemen lantai tempat jualan itu.
Karyawan yang membantu Salmiah ditambah dua orang. Mengerjakan bumbu racik tentu beda dengan berjualan makanan. Apalagi yang akan djual Salmiah adalah makanan siap saji alias makan siang berupa nasi dan lauk-pauknya.
Sehari-dua setelah Salmiah berjualan makanan, yang ada hanya wajah-wajah kecewa para pembeli. Mereka yang berharap memperoleh bumbu racik sekaligus beberapa wejangan dari Salmiah, musnah sudah. Terpaksalah mereka ke warung Roji. Sedangkan makanan Salmiah tidak ada yang menyentuh.
Salmiah mulai sadar, dia telah termakan omongan Roji. Rambut saja yang sama hitam, tapi hati orang siapa yang tahu. Hanya saja pada hari ketiga berjualan makanan, ada seorang lelaki yang singgah di warung Salmiah. Kemudian seorang lagi. Seorang lagi, hingga ramai.
Para suami atau orang tua di sekitar warung Salmiah, tidak lagi makan siang di rumahnya. Mereka memilih lezatnya makanan yang dijual Salmiah. Sementara makanan yang dimasak istri atau anak gadis mereka tidak lagi disentuh.
Dari hari ke hari semakin banyak orang yang tahu warung Salmiah. Pembeli mulai berjubel. Salmiah tidak lagi berjualan siang hari, tapi dipaksa-paksakan malam hari juga. Ini demi tuntutan pembeli. Sebaliknya para istri atau anak gadis mulai kasak-kusuk. Biasanya makanan yang mereka buat selalu ludes tidak bersisa. Sekarang selalu berlebih dan akhirnya basi. Semua karena magnet makanan Salmiah.
Lama-lama para perempuan itu iri. Suami atau orang tua mereka mulai sering memperbincangkan Salmiah. Lama-lama para perempuan itu protes. Mereka melapor kepada ketua rt masing-masing. Intinya, mereka akan mengadakan demonstrasi.Â
"Lho, apa bisa begitu? Orang berjualan mau didemonstrasi," jawab Pak Supangat, salah seorang ketua RT.
"Dia mengganggu ketertiban umum!" jawab warga.
"Dia membuat makanan kami mubazir," sambung yang lainnya.
Roji yang heran melihat warung Salmiah selalu ramai pembeli, suatu hari iseng-iseng makan siang di situ. Dari sekali, kemudian besoknya lagi. Berkali-kali.Â
Dari makan siang, lalu makan malam juga. Setiap kali makan di warung Salmiah, dia menyadari para pembeli tidak hanya menyukai makanan yang ada di atas meja. Tapi lama-lama menyukai penjualnya juga alias Salmiah. Benarlah kata orang-orang, bahwa jatuh cinta itu tidak hanya muncul karena tampilan seseorang, melainkan bisa dari perut yang sejengkal.
Roji mulai heran kenapa dia mulai merasa cemburu kepada pembeli yang lelaki. Harusnya hanya dia yang berhak jatuh cinta kepada perempuan itu! Hey, jatuh cinta? Apakah Roji mulai jatuh cinta kepada Salmiah?
Kasak-kusuk perempuan yang iri atas keberadaan warungnya, belakangan sampai juga ke telinga Salmiah. Dia menjadi tidak enak hati. Untuk apa jualannya laris-manis, tapi orang lain membencinya? Untuk apa tertawa di atas kesusahan orang lain? Dulu dia menjadi idola para perempuan sekarang mereka membencinya.Â
Karyawannya yang rata-rata perempuan, seorang-dua iri juga kepadanya. Mereka menunjukkan rasa irinya dengan berhenti bekerja. Sekarang karyawannya rata-rata lelaki.Â
Roji yang sebelumnya menganggap Salmiah saingan, sekarang tidak hanya mendatangi  warungnya untuk makan siang dan makan malam. Tapi, dia juga sering bertandang ke rumah Salmiah pagi-pagi sekali. Apalagi kalau bukan untuk sarapan pagi, sekaligus memperhatikan perempuan yang kelihatan bertambah cantik dan bertambah molek itu.
"Kabar-kabarnya para perempuan berencana mendemonstrasi kau," kata Roji pada suatu pagi yang mendung.Â
"Karena apa? Karena makanan yang aku jual, ya?" tanya Salmiah bersedih. Roji tidak langsung menjawab sebelum nasi uduk yang dia kunyah melewati tenggorokan.Â
"Mereka takut kehilangan para lelaki. Setiap kali makan siang dan makan malam, lelaki-lelaki itu bless lenyap begitu saja dari rumah mereka. Setiap kali kumpul bersama, perbincangan selalu tak lepas dari Salmiah dan makanan yang kau jual." Roji menjelaskan panjang-lebar.
Salmiah kebingungan. Dia bimbang apakah akan menutup warungnya. Dia menanyakan kepada Roji. Dia meminta saran kepada lelaki membujang yang sedang mabuk kepayang itu. Tentu saja gayung bersambut. Ide yang tertanam di otak lelaki itu siap ditumpahkan.
Pertama-tama demi ketenteraman bersama, Salmiah memang harus menutup warungnya. Dia kembali seperti dulu, penjual bumbu racik. Kedua, dan yang paling utama adalah.... Roji tidak melanjutkan ucapannya. Pipi Salmiah pun merah dadu, setelah lelaki itu melanjutkan ucapannya.Â
Seumur-umur Salmiah baru rasakan ada taman bunga tumbuh di hatinya. Dia menjadi gadis remaja yang paling bahagia. Kalau boleh menari, dia akan menari. Tapi, dia malu. Tentu perempuan setua dan segemuk dia terlihat lucu kalau menari. Dia memilih bernyanyi-nyanyi kecil demi meredam gejolak di dalam hatinya.
Besok ketika kau melintas di warung Salmiah, warung itu telah menjelma tempat sekumpulan ayam bertengger. Ke mana gerangan Salmiah sekarang? Kau tentu saja tidak harus kecewa.Â
Berpuluh meter dari bekas warung itu, Salmiah sedang melayani pembeli bumbu racik. Ramai sekali pembeli itu. Penuh  berjubel. Dia berjualan di toko Roji. Kau tentu tahu kenapa.
Pada awalnya para pembeli di warung Salmiah---maksud saya warung makan itu--- sangat kecewa karena warung itu telah ditutup. Ada keluh-kesah tidak jelas. Tapi, itu terjadi hanya sementara waktu. Semua kelezatan makanan kembali ke rumah. Salmiah tidak lagi dibenci para perempuan di sekitar itu. Dia kembali menjadi idola. Tetap menjadi idola.Â
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H