Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Negeri Gargara

9 Februari 2019   23:27 Diperbarui: 9 Februari 2019   23:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Menggemuruhnya helikopter semakin menciutkan nyaliku. Orang-orang di helikopter---sepertinya memakai pengeras suara---mencak-mencak tak karuan. Aku tak faham apa yang mereka ucapkan. Tapi aku faham apa yang segera mereka lakukan. Tak lain membumihanguskan kami, setelah puluhan tahun nenek moyang mereka tak kenyang-kenyang membumihanguskan Negeri Gargara beserta isinya. 

Sepatu-sepatu lars pun seperti hujan menghantam lantai kapal. Orang-orang itu bagaikan Tarzan turun dari tali permainannya. Lalu keganasan demi keganasan dipertontonkan, sehingga dalam tiarap aku mencoba membenamkan wajah ke lantai kapal, dan menutup mata rapat-rapat. 

Tapi aku tak bisa. Kepalaku tetap terangkat, menatap lurus melihat perlakuan kebinatangan itu. Mataku tetap membelalak seolah kelopaknya diganjal memakai batang korek api. Beberapa kali teriakan kasar. Beberapa kali hantaman lars dan popor senapan. Bahkan bagi yang menantang, diberikan hadiah peluru panas yang menembus dada sampai ke tulang belikat. Sungguh pembantaian yang mabuk keserakahan!

Aku ingin memfoto kejadian ini. Tapi bagaimana mungkin? Selain kameraku ada di kamar, memfoto kebiadaban bangsa Rael itu, sama saja aku menodongkan senjata kepada mereka. Ya, Allah, mereka benar-benar tak mau membedakan mana musuh, dan mana kaum sukarelawan.

Seorang lelaki mendekatiku. Dia bertanya kasar dengan bahasa bar-bar. Tapi aku bungkam. Aku tak faham, sehingga di benar-benar membungkamku dengan bogem mentah yang menghancurkan hampir empat gigi depanku. Seorang lagi datang menendang persis di lobang pantat yang bersambungan dengan alat kelaminku. Dunia kurasakan berputar. 

Kuyakinkan diri, bahwa kejadian ini akan kukabarkan ke seluruh dunia. Aku juga mengajak seluruh bangsa di dunia ini bersatu-padu melawan Rael, bukan dengan kata-kata, tapi kekuatan nyata dan senjata.

Tapi sanggupkah aku mewujudkannya?

Seketika tenang. Orang-orang itu kembali naik ke helikopter melalui tali yang berjuntai-juntai itu. Aku berharap keadaan kembali seperti semula, setelah puluhan mayat tak berdosa bergelimpangan, buah dari kesesatan jiwa yang tak terampuni dari bangsa Rael. Hanya saja ketenangan itu ternyata adalah pintu menuju kiamat kecil. Sebuah benda dijatuhkan dari helikopter menghantam lambung kapal Barbara. 

Menghantam geladak. Menghantam kabin nakhoda. Kemudian ledakan susul-menyusul memporak-porandakan beberapa mayat menjadi serpihan daging. Kapal Barbara berbotol mati 1.200 ton itu oleng. Air laut masuk memerkosa seluruh ruang kosong. Kapal semakin oleng. Kemudian tenggelam, dan hilang sama sekali. Aku tak dapat mengingat apa-apa selain berpikir untuk memegang sekeping papan pecahan lambung kapal yang akan membawaku entah ke mana. Entah untuk siapa!

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun