Ternganga juga lelaki yang akhirnya menyebutkan namanya Paul itu. Baginya istri yang baik itu langka. Tak seperti istrinya yang maniak seks dan maunya menang sendiri. Katanya, aku patut bersyukur. Kukatakan pula kalau anakku sekarang sudah remaja. Dia perempuan termanis dalam hidupku, kecuali istriku tentu.Â
Sesaat mataku basah. Ingatanku menambat dua perempuan yang sekian lama telah mengisi relung hati ini. Ada ketakutkan menjelma. Adakah aku akan kembali ke hadapan mereka, atau akhirnya menuju haribaan Allah sebagai syuhada?
"Anda menyesal menjadi sukarelawan, Mr. Haji?" Namaku sebenarnya Parulian. Tapi karena aku senang mengenakan peci haji berwarna putih terang---meski aku belum pernah menginjak tanah suci Mekkah---dia merasa cocok memanggilku demikian.Â
Dia pernah membaca buku tentang Islam dan kebudayaannya. Bahwa para lelaki yang memakai topi haji, sudah bisa dipastikan seorang haji. Padahal kenyataannya bukan seperti itu. Siapa saja berhak mengenakan peci haji. Hanya orang-orang di Indonesia yang senang menciptakan pengkotak-kotakan status orang sehingga kedengaran janggal dan mengelikan. Ah, maaf, aku terlalu jauh melantur.
"Tidak, Mr. Paul? Saya tak menyesal menjadi sukarelawan. Hanya saja saya tiba-tiba  mengenang dan kangen kepada istri dan anak saya," kilahku.
"Itu hal yang wajar, Mr. Haji." Dia turun dari tempat tidurnya. Sebotol minuman bermerk Scocth diambilnya dari lemari pakaiannya. Berikut dia mengambil dua gelas mungil. Tapi buru-buru kukatakan aku tak meminum minuman beralkohol. Akhirnya dia meletakkan dua gelas mungil itu di atas kasurnya. Dia menenggak langsung minuman itu dari botolnya.
Kami menjadi sangat akrab. Saat panggilan makan siang berbunyi, kami langsung turun ke ruang makan. Di situ kami semeja dengan orang Turki dan Amerika. Mereka orang-orang yang baik. Mereka memiliki naluri yang sangat kuat demi membela manusia yang tertindas. Seandainya saja semua manusia seperti kami, barangkali tak akan ada perang lagi.Â
"Sebenarnya perjalanan kita melewati laut menuju Negeri Gargara, sangat mengundang bahaya. Saya takut sewaktu-waktu Rael menyerang dari kegelapan. Mereka akan menembaki kita. Mereka akan menenggelamkan kapal kita," kata lelaki dari Amerika itu. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang dokter seperti Paul. Namanya George. Sejenak aku menganggap ucapannya hanyalah basa-basi semata. Bukankah dia salah-seorang warga dari sebuah negara yang paling senang membantu orang zolim seperti Rael itu?
Tapi kubunuh prasangka ini. Tak baik berpikir yang buruk-buruk tentang George. Negaranya boleh dicap bangsa-bangsa lain---terutama bangsa dari negara yang mayoritas penduduknya muslim---sebagai negara yang paling senang menciptakan keabadian sebuah peperangan. Hanya saja George lain.Â
"Yakinkah kalian kita sampai di tujuan dengan selamat dan bisa mendarmabaktikan ilmu dan jasmani kita?" Orang Turki itu menimpali. Sedari tadi dia hanya terdiam karena terlalu asyik menikmati roti gulung berisi daging. Aku juga memberinya ekstrak wedang jahe merah. Begitu diseduhnya dengan ai panas, katanya seperti mendenyarkan semangat berjuang.
"Saya yakin!" jawabku.