Kapal Barbara berbobot mati sekitar 1.200 ton ini telah mengangkat jangkar dan meninggalkan Pelabuhan Holy. Aku, dan pasti seluruh penghuni kapal besar ini berharap demikian, bahwa tujuan kami suci demi membantu korban peperangan, seperti halnya nama pelabuhan yang lambat tapi pasti itu mulai mengecil hingga membentuk noktah. Langit benar-benar cerah.Â
Matahari terang-benderang, dan burung-burung camar beterbangan mengikuti arah angin. Semoga juga perjalanan seluruh penghuni kapal ini cerah. Tak ada awan hitam yang menghalang. Semua lancar-lancar sampai di tujuan. Kami akan memberikan segala sumbangsih demi mereka yang kesusahan dan melarat digerus peperangan.
Selintas aku teringat Hayati, istriku. Sedang apa dia kini? Sekian jam lalu dia menelepon supaya aku hati-hati di perjalanan. Jangan lupa mengingat Allah. Pun dia ingin aku kelak pulang seperti keadaanku saat berangkat. Anakku yang beranjak remaja itu, juga mengingatkan bahwa tahun depan dia akan mengikuti pentas teater bersama teman-temannya. Aku diharapkan sempat menonton bagaimana piawainya dia memerankan sang tokoh.Â
Ach, langsung kutepis bayang-bayang mereka! Aku harus kuat, tegar. Aku tak boleh cengeng. Perjalanan ini tak seberapa dibandingkan jika aku harus terjun ke medan perang. Aku hanya menjadi seorang sukarelawan. Insinyur tehnik sipil, yang diharapkan di lokasi perang  bisa membantu merehabilitasi kerusakan di negeri itu; Negeri Gargara. Tentu tak akan ada yang mencoba melukaiku. Juga pasukan musuh dari negeri Rael yang barbar itu. Aku dilindungi oleh PBB. Menggangguku sama saja mengganggu badan yang mengayomi seluruh negera di dunia ini.
Kumasukkan pakaianku ke rak baju, lalu merebahkan tubuh di atas kasur yang berseprei kasar. Aku sekamar dengan lelaki gemuk yang selalu tersenyum, seolah perjalanan ini baginya adalah tamasya. Dia berusia sekitar empatpuluh enam tahun. Lebih tua dua tahun dibandingkan aku. Sejak aku masuk ke kamar kami sekian menit lalu, dia masik asyik membaca buku sambil rebahan.Â
Dia juga mengenakan walkman, sehingga kedatanganku tak mengusiknya. Tapi ketika dia tak sengaja menoleh ke arahku, segera dihentikannya kegiatan membaca itu. Diletakkannya buku di atas kasur. Walkman dilepaskan dari telinga, kemudian dia duduk menghadapku.
"Anda berasal dari negara mana?" Dia bertanya. Kujawab dari Indonesia. "Dokter, ya?" Lagi dia bertanya. Kujawab bukan. Aku seorang insinyur teknik mesin. Dia hanya menyambut dengan tawa. Entah apanya yang lucu, aku sendiri tak tahu. Mungkin sejak lahir dia sudah ditakdirkan suka tersenyum dan tertawa.
Saat dia kehabisan kata, aku menanyakan asalnya darimana. Dia menjelaskan dari Irlandia. Seorang Katolik tulen. Aku sejenak terkejut. Dia menanggapinya lekas-lekas sambil berkata, "Kenapa anda harus heran? Meskipun Negeri Gargara itu rata-rata muslim, toh aku tak mau mencampuradukkan urusan ini dengan hal-hal keagamaan. Aku hanya ingin menyelamatkan mereka yang tertindas."
Dia, tanpa kuminta, menceritakan tentang kelurganya. Dia duda dengan dua anak. Istrinya  pergi dengan lelaki lain, entah ke mana dan untuk tujuan apa. Profesinya sebagai dokter. Sepintas aku menganggap kepergiannya menjadi relawan ke Negeri Gargara sekadar menimbun duka ditinggal istri. Tapi dia menguatkan kepercayaanku, bahwa dia ikut dengan rombongan sukarelawan adalah demi kata hatinya.Â
Dia merasa kasihan mengapa negeri yang seharusnya diayomi, selalu dipenuhi intrik-intrik dan pecahnya pembuluh darah tersebab serangan mortir. Dia iba, seharusnya orangtua, perempuan dan anak-anak, dibiarkan bebas berkeliaran di tanah yang tak pernah tidur dari peperangan itu. Tapi semuanya tetap dianggap sama. Mereka juga manusia yang harus dipites mati, seperti memencet kutu rambut dengan ujung kuku jari tangan.
Dia menanyakan tentang keluargaku. Kujawab aku memiliki seorang istri yang sakinah. Aku tak tahu padanan kata terbaik dalam Bahasa Inggris. Jadi, kukatakan saja istriku cantik dan baik hati. Dia berjilbab.Â