Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Negeri

7 Februari 2019   22:00 Diperbarui: 8 Februari 2019   01:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga perempuan yang berdiri di peron itu saling menatap. Waktu itu, pagi, menjelang pukul tujuh. Kereta api pertama akan tiba sebentar lagi. Aroma masakan dari kantin di dekat peron, menyergap rasa lapar mereka. Mungkin saat yang tepat menyeruput kopi susu, dan melahap dua-tiga potong gorengan dengan cabe rawit yang pedasnya pas karena lebih dulu direndam air garam. 

Perempuan pertama, rambutnya disasak tinggi. Gaun yang dia kenakan biru laut lembut. Aroma tubuhnya seperti wangi sabun mandi. Dia sedang menunggu anaknya, perempuan, berusia belum genap lima tahun. 

Biasanya dia diantar seseorang, muncul dengan tak terduga di antara kerumunan orang. Pagi ini, seperti biasa mereka akan naik kereta api. Ke suatu kota tanpa tujuan, selain ingin melihat alam berkejaran dari jendela kereta api. Lalu, mereka akan berbicara tentang sekolah, cita-cita dan masa depan. Biasanya anak perempuannya makan banyak. Dia pun terlihat bertambah segar dan cantik.

Perempuan kedua, rambutnya dipotong pendek. Gaun yang dia kenakan merah cerah. Aroma tubuhnya setajam silet. Membuat sesiapa lelaki akan menoleh, dan sekadar menelan ludah, lalu berlalu. Bibirnya dipoles gincu redup, antara merah dan biru tua. Seperti berkabung, atau mungkin lebih terlihat bekas obat sariawan, kalau melihatnya dari jarak sekian langkah. 

Dia sedang menunggu anaknya, perempuan, berusia hampir empat tahun. Biasanya dia diantar pamannya dengan mobil hitam metalik. Dari arah gerbang, suara mobil itu terdengar berat karena knalpotnya racing. 

Sebelum mobil terparkir benar, anaknya akan membuka pintu, melesat menemuinya. Mereka akan pergi berjalan-jalan naik kereta, dan menuju suatu tempat agar mereka bisa cerita tentang rumah dan sekolah. Perempuan itu senang anaknya akan lupa banyak tentang makanan. Itu akan mengurangi bobot tubuhnya, dan mengubahnya lebih sehat dan manis.

Perempuan ketiga, bertopi lebar yang menutupi hampir setengah wajahnya. Dia seperti perempuan pemalu. Sama halnya dengan gaunnya yang tidak menyolok. Aroma tubuhnya seperti rumput basah. Bibirnya pucat tanpa polesan.  Matanya akan seketika berpaling ketika bersirobok dengan mata orang lain. Dia lebih sering menunduk ketimbang menatap ke depan atau mendongak. 

Dia sedang menunggu anaknya, laki-laki, berusia lima atau enam tahunan. Pagi ini anaknya itu akan datang diantar seorang perempuan, gurunya. Anaknya akan terlihat gemulai dan pelan menyisir di antara orang-orang yang bergegas. 

Mereka akan menumpang kereta, tanpa tujuan. Kecuali perempuan itu senang melihat anaknya berlarian dari gerbong ke gerbong. Keringatnya akan menyembur dan membuarkan bau amis khas anak laki-laki. Perempuan itu senang, anaknya akan lupa menanyakan boneka dan payung merah jambu.

Lewat jam tujuh, kereta api pertama datang dan mendegus pelan. Sebentar lagi kereta api itu menjadi tumpangan tiga perempuan itu dengan tiga anak mereka. Tapi, kemana anak-anak itu? Tak lebih setengah jam lagi, kereta api akan memekik, berlari meninggalkan peron.

Perempuan pertama menatap ke arah perempuan kedua. "Ke mana mereka, ya? Kok belum kelihatan! Mungkin jalanan macet." Dia bertanya seolah kepada angin, dan menjawabnya sendiri.

Perempuan kedua menatap gerbang. "Mungkin terhalang hujan. Bulan Mei terlalu aneh, selalu hujan. Tapi... anakku kan diantar dengan mobil! Atau, asmanya kambuh? Itulah, kalau punya tubuh,  jangan berbobot berat." Dia menyilangkan tangan di depan dada. Kemudian mengigit keras ujung kuku jari jempol. Dia gelisah. Sangat gelisah.

"Aku takut...." Perempuan ketiga melepas topinya.

"Takut kenapa?" Perempuan kedua menanggapi.

"Takut anakku berhenti lama di tempat toko penjual boneka," jawabnya pelan.

Perempuan pertama mendesis. "Anakmu kan laki-laki!" tegasnya.

"Ya, tapi dia senang boneka, juga payung merah jambu."

Tiba-tiba hujan turun pelan, lalu menebal dan lebat. Petugas di peron itu berusaha menghalau galau dan dingin dengan menyalakan telivisi. Seorang perempuan muncul di layar kaca, pertama samar, kemudian jelas dan tegas. 

Dia memberitakan seorang anak perempuan mati. Anak itu ditemukan diselokan. Dia telanjang, dengan kemaluan yang luka. Dari beberapa saksi diketahui, sebelumnya ada sekelompok remaja laki-laki yang mabuk-mabukan di sekitar situ. Sekarang mereka sedang diburu polisi. Samar terlihat jasad mungil. Perempuan pertama teringat anaknya.

Beralih ke berita berikutnya, seorang anak perempuan ditemukan pingsan di dekat gudang tua. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya ditutup lakban. Menurut polisi, ada kemungkinan anak itu korban pemerkosaan. Mungkin oleh orang yang dia kenal dekat. Perempuan kedua terbayang anaknya. Dia meremas tangannya yang seketika amat basah.

Suara telivisi mendadak hilang ditimbun suara riuh orang. Mereka menggebuki seorang lelaki. Mungkin copet atau pelaku curas. Namun, berita yang dibawa penjual koran, lelaki itu tertangkap basah melakukan pencabulan terhadap anak laki-laki. Anak laki-laki itu pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Perempuan ketiga teringat anaknya. Dia meneteskan air mata.

Ketiga perempuan itu saling menatap. Mereka bingung. Tak ada lagi tempat yang aman untuk anak-anak mereka di negeri ini.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun