"Pokoknya kau kutraktir!" Suaranya renyah. Aku menekan pangkal hidung. Pekerjaan melelahkan hari ini, membuatku sedikit pusing. "Ayolah, kau tak ingin mencoba masakan di restoran baru itu? Khas masakan Italia lho, Bam!" Tawanya pecah. Aku memijit-mijit bahu. Selain kepala sedikit pusing, bahuku terasa pegal. Usai menggerak-gerakkan badan ke kiri dan ke kanan, aku baru menjawab setuju.
"Ok, kalau begitu. Kutunggu di depan kantormu, ya! Hmm, sekitar jam berapa? Jam lima lewat, oke?"
"Baiklah!" Aku tersenyum. Dia mematikan telepon.
"Dari siapa?" Euis bertanya sambil lalu.
"Aldi! Dia mengajakku makan-makan di restoran baru Jalan Sudirman."
"Enak, dong!"
"Begitulah!" Aku tertawa sambil buru-buru mematikan komputer serta merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.
Aldi itu sepupuku. Dia baru enam bulan ini bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas. Lagaknya, lumayanlah membuat iri. Tapi dia tak lupa kepadaku. Dia kerap menelepon sekadar mengajakku nonton, misalnya. Atau berburu kuliner. Aldi memang senang makan. Dulu sih semasa pengangguran, selera makannya dikekang.Â
Setelah bekerja di perusahaan hebat itu, plus di posisi basah alias logistik, selera makannya ibarat banteng yang baru keluar dari kerangkeng. Menyeruduk ke mana-mana. Entah kali ke berapa dia meneraktirku.Â
Dia menjadi sangat awas perkara makanan. Mendengar ada tempat makan-makan yang baru, pasti dia ingin mencoba duluan. Mendengar di tempat anu masakannya lumayan, pun dia kesengsem ingin mencoba. Meskipun taruhannya harus menempuh jarak yang jauh.
Tadi, saat dia mengajakku bersantap di restoran khas Italia itu, sebenarnya aku sudah menolak. Selain tak enak dengan anak-istri yang makan ala kadarnya di rumah, aku kasihan menghambur-hamburkan uang hanya untuk kesenangan lidah. Ya, sebab lidahlah yang merasakan kenikmatan makanan atau minuman, bukan perut. Perut itu sekadar merasakan kenyang, sakit kekenyangan atau sakit kelaparan.