Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mayat Lelaki di Gardu Listrik

4 Februari 2019   07:52 Diperbarui: 4 Februari 2019   08:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki itu telah terbujur kaku di dekat gardu listrik dengan tubuh tanpa selembar benang pun. Untung saja Walid berinisiatif menutupnya dengan koran bekas. Orang-orang yang lalu-lalang terpaksa menghentikan langkah. Jalanan jadi macet karena kerumunan orang semakin melebar ke badan jalan. Masing-masing memperhatikan lelaki itu. Siapa tahu salah seorang anggota keluarga, atau kerabat dekat. Mungkin juga selingkuhan, mungkin pula preman.

Orang-orang merasa aneh. Bagaimana bisa seorang lelaki mati dengan tubuh tanpa selembar benang pun. Yang seperti itu biasanya terjadi kepada perempuan, karena habis diperkosa. Kalaupun terjadi pada lelaki, paling tidak dia mati sebab tenggelam di sungai.

Tak ada bekas luka di badan lelaki itu. Polisi yang datang beberapa menit kemudian, juga tak melihat bukti-bukti penganiayaan. Menurutnya, kematian lelaki itu murni karena nyawanya sudah mesti dicabut. Artinya, tak ada penyebab yang riskan, kecuali sakit. 

Seperti  sebatang pisang, dia diletakkan begitu saja di bak mobil patroli. Orang-orang yang berkerumun bubar. Mereka kembali ke tujuan masing-masing. Mayat si lelaki langsung dibawa ke bagian autopsi rumah sakit. Dan di situlah orang yang mengitari sang mayat, heboh. Persoalan baru diketahui bahwa lidah lelaki itu telah hilang. Tepatnya dipotong persis di batang tenggorokan. 

"Ini pembunuhan sadis yang harus diselidiki!" teriak polisi gugup.  Tadi, dipikirnya, tugasnya telah kelar. Tapi ternyata belum. Kondisi mayat tanpa lidah itu menjadi persoalan besar. Pemotongan lidah itu tak dapat diprediksi dengan mudah tujuannya untuk apa. Kalau mati dengan tubuh penuh bacokan, mungkin saja habis berkelahi, mungkin usai ditodong. Tapi ini lidahnya terpotong. Lebih aneh lagi, di bagian dubur lelaki itu ditemukan luka lecet.

Persepsi orang-orang di situ melebar. Bisa saja si lelaki adalah waria yang senang menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan protokol ketika malam tiba. Atau tak menutup kemungkinan dia seorang gay. Setelah puas dikerjai pacarnya, mereka langsung bertengkar. Lidahnya dipotong. Tubuhnya ditelanjangi dan dibuang di sembarang tempat.

"Mungkin saja ciuman kawan si gay ini terlalu dalam, sehingga lidahnya putus dan dia mati. Pacarnya gugup, lalu membuangnya di dekat gardu listrik," seru Mudin, wartawan kriminalitas yang senang ngocol.

Dokter bagian autopsi melotot. "Ngaco kamu! Jangan melemparkan pendapat yang aneh-aneh!"

"Ya, siapa tahu!" jawabnya bersungut-sungut. Dia terpaksa keluar ruangan karena polisi menyuruhnya pergi. 

* * *

Kematian si lelaki yang begitu misterius dan telah menimbulkan kontroversi  beberapa kalangan, menjadi lebih heboh lagi manakala diketahui bahwa dia adalah pekerja sosial di sebuah lsm. Dia pengkritisi dan senang membordir perbuatan elite pemerintahan yang selalu salah-kaprah. Tapi dia tak mengkonfrontasi mereka secara langsung. Dia bermain di belakang layar. 

Dia hanya kolumnis, yang mengisi ruang-ruang opini koran dan majalah dengan artikel-artikel pedas. Berhubung elite pemerintahan lebih senang menonton goyangan binal di televisi atau panggung-panggung hiburan ketimbang membaca, maka kritik pedas (bukan kripik pedas) si lelaki seolah hanya pengisi kolom di media massa agar tak lowong. 

Namun sekarang dia telah mati dengan lidah terpotong. Otomatis elite pemerintahan termotivasi mencari arsip-arsip koran dan majalah yang memuat tulisan si lelaki. Setelah itu mereka membacanya dengan wajah merah-pedam. Mereka mengumpat perbuatan keji yang menewaskan si lelaki. Mereka menuntut supaya pelakunya ditangkap, diadili. Kalau bisa dihukum mati. Padahal di dalam hati elite pemerintahan tersebut, sebenarnya bersyukur. Sang penulis kritik yang membuat wajah merah-padam itu, sekarang sudah mati. Mampuslah dia!

 "Pasti ada yang tak senang dengan tulisan-tulisannya," kata seorang elite pemerintahan di sebuah acara dialog politik di televisi.

Polisi akhirnya mengait-ngaitkan masalah di pemerintahan selama ini dengan tulisan-tulisan si lelaki. Lalu ditemukan titik terang.  Tuan Ramona, kepala perusahaan umum yang mengurusi jalan-jalan provinsi, bisa dijadikan tersangka. Sebab limapuluh persen tulisan si lelaki yang telah menjadi mayat itu, mutlak mengenai pengkorupsian dana pembangunan jalan. Artinya, jalan-jalan yang dibangun, konstruksinya tak sesuai dengan biaya yang dianggarkan hampir miliaran rupiah. Akibatnya, belum sebulan, jalan yang mulus kembali bopeng-bopeng. Direhab, bopeng lagi.

Tuan Ramona ketakutan. Segera dia eksodus ke negara tetangga, dengan alasan studi banding. Uang yang digunakan adalah dari kas pemerintahan. Masyarakat semakin mencurigainya. Kemudian dikeluarkanlah peraturan pencekalan dan dpo atasnya. Tapi berhubung dia berduit, mudah saja petugas negara dikibuli. Coba, siapa yang tak mau duit di negara yang sudah kacau-balau ini?

Kondisi pemerintahan semakin memanas. Rakyat menuntut penyelesaian kasus pembunuhan si lelaki. Mereka tak mau ikut-ikutan menjadi incaran elite pemerintahan akibat sikap kritis. Pasti kelak akan banyak ditemukan mayat-mayat tanpa selembar benang pun menutupi tubuh mereka. Lalu, lidah-lidah mereka pun hilang terpotong. Hih, jangan sampai!

* * *

Penyelesaian kasus pembunuhan si lelaki menjadi simpang-siur. Bahkan digosipkan bahwa si lelaki semasa hidupnya adalah gay. Terbukti di bagian duburnya ditemukan bekas luka. Tapi dokter autopsi cepat-cepat menetralisir keadaan. Sesuai dengan prinsip ilmunya, dikatakan bahwa si lelaki bukan habis "dikerjai" di bagian duburnya. Itu bukan perbuatan benda tumpul. Tapi hanya lecet terkena benda tajam. Mungkin saja karena dari besi kursi yang didudukinya.

Saat berita-berita kematian si lelaki semakin memenuhi lahan-lahan media massa, mendadak seorang lelaki lain menulis surat kepada polisi yang mengatakan bahwa dia mengetahui jelas penyebab kematian itu. Dengan mudah polisi berhasil mengincar dan meringkusnya. Tatkala dia digelandang dan diinterogasi di kantor polisi, barulah suasana heboh. Ternyata lelaki itu tak bisa berbicara. Lidahnya terpotong persis di batang tenggorokan. Terpaksalah dia diinterogasi melalui tulisan.

Kira-kira begini hasil interogasinya ;

Polisi : Mengapa baru sekarang kamu melapor? Dan lidahmu kenapa?

Lelaki : Saya takut nanti menjadi terdakwa. Lidah saya terpotong, memang sengaja dipotong. Sekarang ini suara kritikan dan teriakan rakyat selalu tak didengar elite pemerintahan. Mereka terlalu arogan menjalankan peraturan, sehingga rakyat hanya dijadikan boneka pesakitan. Jadi, untuk apa lidah ini? Lebih baik dipotong dan tak usah berbicara. Senjata yang baik, adalah dengan menulis kritikan pedas di koran maupun majalah. Selain  bisa didokumentasikan, juga tak merusak lingkungan. Lagipula, tulisan-tulisan kami mendapat honor. Lelaki itu mesem-mesem.

Polisi    : Kami ingin tahu kenapa dia mati?"

Lelaki : Maaf, Pak. Karena dia ingin lidahnya dipotong seperti saya, maka saya potong saja. Tapi hari itu dia pendarahan hebat. Dia tak mengatakan mengidap penyakit komplikasi; diabetes, darah tinggi dan jantung. Akhirnya, dia mati.

Polisi : Kenapa dia ditemukan telanjang? Kenapa dibuang di jalanan?

Lelaki : Maaf, Pak. Sebelum memotong lidahnya, kami sempat "anu", berpacaran. Bapak mengerti bukan maksud saya? Lelaki itu mesem-mesem lagi. Mengenai dia kubuang di jalanan, hanya ingin menghilangkan jejak. Biar saya tak ditangkap.

Polisi : Kenapa sekarang kamu mengakui perbuatanmu? Kamu tak takut dipenjara atau dihukum mati?

Lelaki : Takut juga, Pak. Tapi daripada isu kematian teman saya itu dimanfaatin elite pemerintahan untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus  korupsi yang harus dituntaskan, lebih baik saya mengaku saja. Masalah kematian teman saya akan reda diberitakan di media massa. Saya berharap demikian, Pak.

Setelah diinterogasi, dapat  ditebak, tak lama lagi lelaki itu akan dijebloskan ke penjara. Entah yang diceritakannya benar atau tidak, bukan persoalan. Semua yang terjadi di negara ini hanya sipongang cerita-cerita yang mewajibkan kita harus menerka-nerka setiap saat. Sebab tak ada yang transparan di sini. 

Yang beruntung sekarang Tuan Ramona. Dia telah kembali dari negara tetangga setelah menghabiskan uang negara ratusan juta Rupiah. Dia tak dijadikan tersangka, sebab pelaku yang menyebabkan si lelaki mati, telah ditemukan. Tapi, harap hati-hati, setelah berita kematian si lelaki tak lagi menghebohkan, Tuan Ramona dan elite pemerintahan yang senang korupsi, bisa digrebek pihak KPK. Hati-hati saja!

---sekian---

Ref. Foto : pixabay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun