Penonton menjeritkan, "Sibaso keluar! Sibaso keluar!"
Lelaki itu muncul dari belakang panggung, mengenakan topi ala turki dengan rumbai seperti ekor kuda, dan baju corak kotak-kotak berwarna hitam, merah dan putih, dipadukan celana berwarna hitam.Â
Dia memegang ulos yang sesekali dihempaskan ke lantai panggung. Seperti kerasukan jin, dia melompat-lompat. Menari dengan mata jelalatan seiring irama gordang sambilan1). Â
Dia bernama Murad. Lelaki yang setiap ada tanggapan gordang sambilan, selalu langganan menjadi Sibaso. Sibaso adalah sosok yang muncul memeriahkan acara gordang sambilan, sekaligus menyemangati penabuhnya.Â
Dia ibarat mediator yang mengantarkan ruh nenek moyang kepada penabuh-penabuh itu, sehingga mereka seakan tiada lelah menghantam-hantamkan pemukul  ke gordang.
Tapi sungguh, Murad telah bosan menjadi Sibaso. Tidak pernah sekalipun dia merasakan kerasukan jin. Dia hanya berpura-pura. Kaya pun tidak dibuatnya. Karena sehari-hari, dia hanya upahan penyadap karet, diselang-seling menjadi Sibaso, toh tidak bisa membuatnya makmur. Jangankan berpisah rumah dengan ibunya, melamar Makmunah saja dia tidak sanggup.
Sesekali matanya nanar menatap Kurnen, lelaki berperut buncit, berkumis melintang, yang duduk paling dekat dengan panggung. Kurnen tersenyum sambil merengkuh Siti yang baru kemarin dia nikahi. Kurnen terkenal sejagat kampung. Dia seorang kepala centeng beberapa tempat hiburan terkenal di Jakarta.Â
Rumahnya dua, sesuai dengan istrinya yang sudah dua. Sebentar lagi rumahnya tiga, seiring diboyongnya Siti ke Jakarta. Kabarnya mobil Kurnen ada lima. Saat pesta perayaan pernikahannya ini, orang kampung tidak hanya dihadiahi gordang sambilan, Â juga organ tunggal yang ditanggap tadi malam. Belum lagi gulai tiga ekor kambing, menjadi pemuas perut warga kampung.
"Dia memang memiliki kesaktian, Murad!" Ruhul memijit-mijit kaki Murad di gubuk pinggir kampung, usai menjadi Sibaso hampir dua jam. Luluh-lantak rasanya seluruh tulang Murad.Â
Beruntung Kurnen lebih banyak mengupahnya melebihi upah yang biasa diberikan para penanggap gordang sambilan lainnya. Tiba-tiba pula dia berniat merantau ke Jakarta. Menjadi centeng terkenal dan kaya raya seperti Kurnen.
"Apakah kalau menjadi kepala centeng harus memiliki kesaktian? Aku kan Sibaso yang dipuja orang kampung?" Murad meringis.