"Ini hari libur. Minggu!"
"Akan hal Maryam?"
Aku terdiam. Seekor berang-berang melompat dari sungai. Menerabas rumpun ilalang. Lenyap membawa rusuh yang menjauh hingga senyap.
"Ibu memang harus menjagaku. Seorang perempuan bersama seorang lelaki seperti Rung, mungkin akan berbahaya."
Dia mengibas-ngibaskan rambutnya. "Apa kau masih tak percaya kepadaku? Aku telah menganggapmu anak. Apa ada bapak yang memangsa anaknya."
"Di tivi sering terjadi!"
"Kau percaya pada tivi? Bodoh!" Dia terbahak. Kakinya yang panjang melangkahi parit kecil. Aku bersusah-payah mengikutinya. Berjalan di pematang licin. Sekali aku terpeleset. Rung tak menoleh. Aku menggerutu. Tapi gerutu itu berubah sumringah ketika dia melompat pelan ke atas perahu yang tertambat di tunggul kayu. Kususul pula sambil mengkecipakkan tangan di permukaan Ogan.
"Terima kasih telah meluluskan niatku." Setelah beberapa kali mengajuk diajak pergi mencari ikan di sepanjang Ogan, baru kali ini terwujud. Ada-ada saja alasannya menolak. Karena capek, Ogan lagi tak bersahabat, atau takut dipikir orang kampung dia tengah berbuat tidak-tidak. Siapa yang tak curiga kami berdua-dua di tempat lengang apalagi tak pula bertalian darah?
Perahu melaju pelan. Rung mendayung menyongsong arus. Urat-urat lengannya bertonjolan. Keringatnya terbit. Matahari dengan lembut menyinarinya.
"Kau belum bercerita tentang asal-usulmu, Rung. Mestikah aku percaya cerita Maryam kalau kau siluman buaya? Tak sekilas kulihat tubuhmu menyerupai itu."
Dia menggeram. Sudah berulangkali dia menunjukkan rasa tak senang bila kukait-kaitkan dia dengan siluman dan buaya. Rung memang kerap menunjukkan kepiawainnya mengusir buaya yang merangsek pemukiman penduduk seperti yang kuceritakan tadi. Rung juga pernah bertarung dengan buaya yang mengamuk. kemudian buaya itu luka dan hilang di semak ilalang.