Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Joe

31 Januari 2019   12:35 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama saya Joe. Saya memiliki banyak musuh di sekolah. Peter sang wali kelas, Pak Kepala Sekolah, Bu Ceriwis yang mengajar Matematika, juga Leon ketua kelas yang berlagak sok pintar (meskipun dia memang pintar). Hanya Pak Min yang menganggap saya sebagai teman. Dia selalu menurut membuka pintu gerbang ketika saya terlambat masuk sekolah. Biasanya dia langsung dibentak Peter. Tapi Pak Min sudah kebal. Masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Dia sering juga melihat saya memanjat pagar sekolah, dan kabur membolos. Besoknya saat Peter menyeterap dan menginterogasi saya di depan kelas, saya memberi alasan membantu Pak Min membersihkan wc sekolah. Dia pasti menyuruh saya duduk, kemudian memberikan hukuman saat jam istirahat; membersihkan wc. Dan Pak Min melihat saya dari jauh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ya, ya. Setiap membolos saya selalu mempunyai alasan membantu Pak Min. Ketika lelaki tua berumur hampir limapuluh tahun lebih itu ditanya Peter, tentulah dia membela saya sambil mengetakan, "Benar!" Tapi itu, Peter selalu menyuruh saya kembali mengerjakan segala sesuatu yang saya lakukan saat membantu Pak Min, dengan konsekuensi seorang diri.

Saya sering mendengar guru-guru lain mengajar murid mereka dengan mengatakan demikian, "Anak-anak, kalau ingin pintar, jangan mencontoh anak kelas lima itu. Anak itu nakal, jorok dan senang membohongi guru. Kalian tahu siapa dia?"

"Joe!"

Hati saya sangat meredang. Andaikata brengsek-brengsek kecil di kelas itu hanya tiga atau empat orang saja yang menjawab, pasti saya buat bonyok wajah mereka. Tapi ini, semua menyebut nama saya. Bagaimana mungkin saya membonyokkan anak satu kelas itu? Yang ada saya bisa dijadikan kornet.

Saya benci sekolah! Saya benci dikurung di kelas-kelas sempit dengan anak-anak lelaki cengeng seperti anak perempuan, dan anak-anak perempuan seperti tante-tante genit. Uh! Andai saja Pa dan Ma (begitu saya menyebut Papa dan Mama ) tak menyuruh saya bersekolah, dan membiarkan saya berkeliaran seperti Pedro, pasti saya akan sangat bergairah melewati hari-hari saya. Saya tak akan sedih meninggalkan hari Minggu, dan memulai aktifitas rutin dan menjengkelkan di sekolah di hari Senin. Andai pula semua hari adalah Minggu, sayalah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

Ssst! Jangan pernah bercerita bahwa sampai sekarang saya masih bersahabat dengan Pedro. Saya bangga padanya. Dia menjadi idola saya. Maka, meskipun Pa selalu melarang saya bergaul dengan anak gelandangan itu, saya tetap mencari cara untuk menemuinya.

Saya bayangkan betapa enaknya hidup seperti Pedro. Tak ada orang yang memarahinya. Tak ada yang menyuruh ini-itu. Menyuruh sekolah, menyuruh belajar. Dia bisa bangun dengan seenak perutnya. Mau pukul delapan, pukul sembilan, atau sampai seharian di dalam rumah kardusnya di dekat jembatan yang membatasi kota kami dengan kota di seberang. Sementara saya harus bangun pagi sekali. Pukul enam. Hal yang menjengkelkan! Apalagi saya harus mandi, menggosok gigi, membersihkan telinga, berseragam rapi yang membuat saya risih. Huh, apalagi Ma selalu menyuruh saya sarapan dulu. Sepotong roti atau mungkin sepiring nasi goreng, dan tentu saja penyempurna; susu. Uh, benda cair yang menjijikkan! Saya tak mau disamakan dengan si Manis kucing kesayangan saya. Saya ingin seperti Pedro, gagah menghirup kopi panas di warung Paderan ketika dia memiliki uang berlebih.

Menjadi seorang Pedro memang obsesi saya. Maka sering saya bertanya kepadanya, bagaimana agar rambut saya bisa sepanjang miliknya. Tentu jawaban yang cocok adalah jangan sampai memangkas rambut saya. Nyatanya saya tak bisa. Setiap bulan saya seperti kambing domba yang dibawa ke pemangkasan. Pa akan amat senang membawa saya. Dia berjanji akan membelikan saya buku dongeng. Fuh! Selalu itu. Padahal saya benci membaca. Seluruh buku-buku saya menumpuk di bawah dipan. Terkadang bila Pa dan Ma sedang tak di rumah, saya memasukkan buku-buku itu ke dalam karung. Saya memberikannya kepada Pedro untuk dijual ke pasar loak. Hasilnya berbagi dua. Kami akan membeli sate dan melahapnya sampai kenyang. Hal yang paling menyenangkan kemudian, adalah rebahan di sebelah rumah kardus Pedro sambil menghisap rokok murahan. Hingga saya terkadang tersedak dan berurai air mata. Pedro pasti tertawa. Saya menunjukkan bahwa saya bisa. Tapi terbatuk lagi. Berurai air mata lagi. Akhirnya, saya hanya menjadi penonton.

Nah, satu lagi, sebelum saya lupa. Saya benci dengan lelaki yang senang memegang gunting dan sisir itu. Nama lelaki itu Kandre. Dia berwajah Tambi, dan menurut Pa keluarga Kandre rata-rata masih di India. Dia adalah salah seorang lelaki yang sanggup menaklukkan saya di antara tukang pangkas-tukang pangkas di pasar. Tentu untuk itu, Pa sanggup membayar mahal. Bukan karena ongkos pangkasnya yang dipatok mahal. Melainkan Kandre terlalu butuh banyak waktu demi menjaga kepala saya jangan sampai bergerak-gerak. Selebihnya ada tambahan ongkos untuk berobat. Setiap kali rambut saya dipangkas Kandre, pastilah tangannya luka. Saya selalu mengigit tangan yang jahat itu kuat-kuat. Sayang, tenaga dan rasa sakit dia lebih kuat dari gigitan saya. Saya harus kalah dan menjadi anak baik serupa biksu berambut plontos. Hasilnya, Pedro akan menertawakan saya seperti biasa.

Kami (sebenarnya menurut saya hanya Pa dan Ma) hari ini kedatangan tamu. Seorang lelaki kurus-tua bersama seorang anak setinggi saya. Si kurus tua adalah paman Ma dari kampung. Anak yang setinggi saya itu adalah cucunya. Saya tak perduli kedatangan dua orang aneh itu. Saya selalu akan menghambur ke luar setiap kali ada tamu. Sebab setiap ada tamu, pastilah berkah bagi saya. Ma pasti malu teriak-teriak menyuruh saya tidur siang misalnya. Atau belajar. Dan saya paling anti duduk manis di depan tamu-tamu Ma dan Pa. Saya menjadi tumpuan puji kedua orangtua saya itu, meski mungkin dalam hati para tamu, saya adalah anak yang tak patut dicontoh dan harus dijauhi. Bagaimana tidak. Mereka sangat jijik melihat saya yang sengaja mengupil. Kemudian mengorek-ngorek liang telinga. Membuat suara-suara seperti mesin mobil, sehingga ludah saya membusa, berlepotan di bibir. Tamu-tamu itu barangkali berharap Tuhan melenyapkan saya dari depan mereka.

Saya tahu dari ibu kemudian, nama lelaki kurus-tua itu adalah Insang. Saya tertawa sambil mengejek. Bukankah insang itu kepunyaan ikan? Ma marah. Beruntung Insang sudah kembali ke kampungnya. Nama cucu Insang adalah Arimbi. Seperti nama perempuan! Dia berencana menetap di rumah kami sampai tamat esde. Saya membayangkan berapa lama itu. Saya merasa bahwa dia adalah penyakit yang membuat tubuh saya meriang setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun