Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Joe

31 Januari 2019   12:35 Diperbarui: 31 Januari 2019   12:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Coba saja, Ma dan Pa pasti menyuruh saya menemaninya terus-terusan. Juga di sekolah, sehingga kesempatan saya membolos segera lenyap. Saya akan memiliki buntut seperti anjing tetangga. Buntut yang mengekor terus ke mana saya pergi. Brengsek! Waktu saya untuk Pedro pasti berkurang. Padahal sudah jauh-jauh hari saya berharap menjadi murid kesayangannya. Dan itu butuh waktu panjang. Butuh perjuangan. Kata Pedro hampir tiga tahunan. Saya harus siap-siap tidur di rumah kardus. Harus siap-siap menikmati nasi basi. Mengorek-ngorek tong sampah penduduk. Harus belajar ilmu bela diri, sehingga bila bertemu berandalan kecil, saya tak jadi pecundang, dan makanan saya dirampas.  Aduh, mengapa pula Arimbi menjelma kutil di depan mata saya?

Ternyata Ma dan Pa tak menyuruh saya menemani Arimbi terus-terusan. Arimbi senang membantu Ma di dapur. Jadi dia telah memiliki teman. Dia juga suka membantu Pa di kebun belakang, merapikan bunga-bunga kesayangan Pa, termasuk bonsai yang membuat  mata Arimbi seperti berdecak melihatnya.

Hei, mengapa saya tak sadar? Saya mulai merasakan kehadiran Arimbi bukanlah kutil di depan mata saya. Tuhan telah berbaik hati menciptakan seorang anak seperti dia dan menghadirkannya di depan saya. Ma tak lagi terlalu memperhatikan kegiatan saya, apalagi menyuruh ini-itu. Pa yang selama ini lebih sering menyerahkan tugas mengawasi saya setiap hari kepada Ma, tentu saja semakin alpa tentang saya tersebab Arimbi.

Saya akhirnya bebas keluar rumah. Bebas bermain bersama Pedro. Saya ceritakan tentang Arimbi. Tentang berkah yang didatangkannya. Dia membuat perhatian Ma dan Pa terbagi dua. Jadi, mereka tak fokus lagi memperhatikan saya.

Bila pagi hari saya bangun pukul tujuh, Ma hanya menyuruh saya buru-buru bersiap, jangan sampai terlambat masuk sekolah. Dia tak lagi memperhatikan sepatu saya, apakah berlumpur atau sudah dicuci bersih. Baju seragam saya yang berlengan sangat pendek, kembali bisa saya kenakan. Celana yang penuh tambalan pun bisa saya pakai. Padahal baju dan celana seragam itu sudah Ma masukkan ke box di dalam gudang. Saya mengeluarkannya lagi, dan Ma seperti buta tak menyadarinya.

Ma juga lupa membuatkan susu untuk saya. Di meja makan paling-paling hanya ada sepotong roti. Saya tertawa senang. Saya memiliki alasan berjajan sepuasnya di sekolah. Saya ada alasan tepat, belum sarapan. O, Arimbi, Arimbi! Betapa kau sangat membantu hidup saya!

Saya dan Arimbi satu kelas, dan duduk berdampingan. Teman-teman memuji kerapiannya. Cuh, anak kampung! Peter sangat senang kepadanya. Arimbi cerdas. Setiap Peter bertanya, Arimbi selalu bisa menjawab. Ketika jam istirahat, teman-teman mengerubunginya. Ha, bukankah ini sangat membahagiakan! Mereka semua tak lagi awas terhadap saya.

Di hari-hari selanjutnya, Peter sama sekali tak menggubris, seolah dia buta tak melihat saya membolos sekolah. Saat terlambat masuk ke kelas sampai satu jam lamanya, tak membuat dia berang dan menyeterap saya. Pesona Arimbi telah menghipnotisnya. Dia seolah tak perduli lagi apakah saya ada di kelas atau tidak. Dia mungkin tak perduli juga jika sampai kiamat saya tetap tak masuk ke kelasnya. Sementara masalah pakaian sampai sepatu dan kaos kaki saya, seluruh penghuni sekolah tak lagi mengurusi. Mau saya memakai sepatu terbalik, tak memakai kaos kaki, berkaki ayam, semua diam saja. Mau baju saya tak berkancing, celana saya sobek-sobek, bahkan bila telanjang sekalipun, mereka pasti tak ambil pusing. Hoi, betapa Tuhan menyayangi saya! Saya telah berhasil menjadi Pedro sejati.

Saya menceritakan perubahan-perubahan sekeliling  ke arah lebih baik kepada Pedro. Nyatanya teman saya ini senang. Rumah kardusnya dengan lapang dada selalu menerima saya. Maka hidup saya seharian lebih banyak bersama Pedro ketimbang teman-teman dan guru di sekolah. Saya bebas mengiktu Pedro ke tong-tong sampah. Bebas mengais sisa-sisa makanan orang. Bebas merokok, sampai pipi kempot dan mata merah bengkak. Bebas mengopi sampai saya merasa lambung saya ini berubah hitam. Bebas menyelinap malam hari dan berkeliaran bersama Pedro hingga pukul satu dini hari. Sebab Ma hanya akan berteriak dari ruang tamu, "Arimbi, kau sudah tidur? Bagaimana dengan Joe?"

Arimbi tentulah menjawab, "Semua aman, Tante!" Dia tak mengatakan saya telah terbang melompati jendela sekian jam lalu, dan pergi menggerayangi malam bersama Pedro. Jika dia mencoba mengadu, maka harus rela bibir menjadi bonyok dan berdarah.

Di suatu malam di dekat rumah kardus Pedro. Di bawah sinar purnama yang terang, saya akhrinya dilantik menjadi Pedro Junior. Saya telah menjadi jorok seperti gelandangan. Ujung rambut saya sudah menjuntai-juntai melewati telinga. Pedro mengambil piring seng. Meletakkan arang kayu di atasnya. Arang kayu itu langsung digores-goreskan ke wajah saya. "Nah, kau telah menjadi Pedro Junior sejati." Saya sumringah. Dada saya mengembang. Akhirnya.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun