Langit dan laut yang menjadi pacarnya selama ini, sekarang menjelma musuh menakutkan. Awan berarak berjejal-jejal. Hitam legam. Angin menciptakan siut-siut sebagai pertanda akan ada badai topan, atau lebih parah lagi mungkin tornado yang tak hanya memutar-mutar di atas laut, tapi menyelusup ke sela ombak.Â
Menggali liang, dan memusing-musing di situ. Akankah lelaki ini bisa bertahan memegang haluan, dan perahu layarnya tetap teguh menuju suatu titik bernama pantai? Oh, tiada pula ramah ombak yang membanting-bantingkan diri ke kanan-ke kiri. Hei, apakah di tengah lautan sangat luas, ada kanan dan kiri? Tidak.Â
Lelaki itu hanya mengerti arah angin, yang memberinya tanda bahwa dia sangat jauh dari pantai manapun. Adakah dia akan mati dan hilang ditelan laut? Namanya hanya dikenal ikan-ikan, ombak, dan mungkin angin. Sementara keluarga yang mencintainya, hanya mengenang pada almanak tua. Menyilang tanggal dia hilang. Melingkari tanggal dia lahir. Oh, merananya sendiri!
Langkah lelaki itu memang sudah terasa berat ketika meninggalkan pantai pagi tadi. Dia melihat langit sama sekali kusam. Dia menjamah angin yang berasa lain dari biasanya. Dan istri yang hampir seperempat abad menemaninya menjalani getirnya hidup sudah mengingatkan. Cuaca kurang baik. Sebaiknya mengurungkan niat pergi melaut.Â
Tapi manakala mimpi itu membayang lagi, lelaki itu tak tahan memendam hasrat. Dia bermimpi mengarungi lautan sampai melampaui batas-batas yang dia singgahi. Apakah memang laut memiliki batas? Tapi dia bisa membatasinya.. Dia melihat cahaya amat terang-benderang jatuh ke permukaan laut. Lalu seketika ikan-ikan laksana terbang melompat ke perahu layar kecilnya.Â
Lagi dan lagi. Sehingga perahu itu kelelahan menampung muatan yang melimpah. Sehingga si lelaki mengucapkan kata, "Cukup, cukup! Pulanglah kembali ke laut!" Hingga dia terbangun dan bernafsu mewujudkan mimpi itu. Ha, bukankah mimpi adalah kembang tidur?Â
Tapi siapa yang bisa melarang niat orang yang ingin membuktikan mimpinya? Setiap orang berhak bermimpi. Setiap orang berhak mewujudkan mimpi itu. Termasuk lelaki ini, yang merasa harus tabah menerima nasib yang akan mencincang usianya.
"Tolonglah aku langit! Usirlah awan ke negeri-negeri jauh. Biarkan aku bebas melihat wajahmu yang biru utuh!" jerit lelaki itu keras. Hanya saja suaranya ditelan buasnya ombak, dan mengembangnya sayap angin yang memutar-mutar.Â
"Tolonglah aku ombak! Berhentilah menciptakan gelombang yang tinggi! Biarkan aku yang kecil dan amat kerdil di seluas tubuhmu, selamat ke pantai. Aku akan bersahabat dengan ikan-ikanmu. Aku tak akan menangkap mereka!" Tapi apa langit dan ombak memiliki mulut untuk bicara? Andaikata mereka memilikinya, apakah keduanya sanggup menghentikan kegarangan itu? Tidak! Sekali lagi tidak! Langit dan ombak ada yang memilikinya.Â
Tuhan. Sayang, lelaki ini lupa. Apakah karena dia terlalu takut? Orang yang sangat ketakutan menghadapi sesuatu yang nyata, biasanya menganggap sesuatu itulah yang dianggap berkuasa, sementara di belakang itu yang ghaib-ghaib bahkan si Maha Pencipta, hilang sama sekali. Dan lelaki ini memang terjebak dalam ketakutan yang menghilangkan akal sehatnya sendiri.
Sementara puluhan mil di pantai. Di sebuah rumah beratap rumbia dan berdinding tepas, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun bermuram durja menatap lewat pintu yang nganga. Pintu yang menghadap laut yang tak ramah.Â