Namun semua itu harus dilesap dalam bilik kesabaran. Ingatlah, beberapa kali pergantian tahun acara-acara menggairahkan itu tak menjambangi rumahku. Paolo tetap asyik dengan kantornya. Meilani sibuk di luaran sana, bersama cerita-cerita kampus, atau lelaki-lelaki yang berniat menaksirnya. Begitu dinginnya. Sangat gigilnya, sehingga kurasakan berada di pucuk gigil sebuah gunung es yang meranakan jiwa.
"Aku mungkin pulang besok pagi," kata Paolo di telepon. Hanya itu. Lalu horn telepon berdetak.
"Banyak acara di kampus, Ma. Pulang dini hari, ya!" Meilani menyambung dengan suara cemprengnya dari tempat antah-berantah.
Aku merasa dirajam oleh cambuk-cambuk dari kawat berduri. Tak hanya jasmani yang terkoyak-cabik, nurani juga tertusuk-badik. Orang-orang yang dekat denganku itu, semakin jauh. Aku telah kehilangan segalanya. Kehilangan cerita-cerita indah. Ya, ya. Semua telah melupakan seorang renta yang menjagal hari-hari dengan detak jam tak bersahabat.
"Belum tidur, Bu?" Pinem, pembantuku, muncul di ambang pintu kamar. Dia tersenyum. Dia membawa senampan roti bakar, juga segelas susu yang masih mengebul. Segelas lagi aku tak tahu isinya, sedikit buram. Mungkin jatah Pinem sendiri.
"Belum! Masuklah!" Senyumku lebar. Tapi kutahu Pinem melihatnya tawar.
"Bebarapa hari ini ibu kelihatan gundah. Kenapa, Bu?" Dia meletakkan seluruh penganan dan minuman di atas meja rias.
"Bukan beberapa hari, Nem. Tapi beberapa tahun! Ah, aku menjadi tersisih dari keluargku. Orang-orang dekatku itu menjadi sangat asing."
Pinem tersenyum. "Itu hanya perasan ibu saja. Saya sekian tahun lalu, mengalami kondisi sama seperti ibu. Tapi saya berusaha meredam tersebab semuanya hanya kecurigaan palsu yang menggelayuti benak ini. Buktinya, hingga sekarang semua aman-aman saja. Tak ada yang selingkuh. Tak pula anak melawan kepada bundanya."
Aku menepiskan tangan. Rasa penat ini hanya tertebus sambil memejamkan mata menunggu lelap itu menjerat.
* * *