Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjamuan Malam

30 Januari 2019   10:00 Diperbarui: 30 Januari 2019   10:11 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay


Malam Pertama

Ruangan pengap dan menjijikkan. Amis darah menyebar. Foto-foto mayat yang menempel berjejer di dinding, membuat mual. Tiga lilin di atas pajangan berbentuk trisula, bernyala lindap, menghantarkan bau kemenyan, gaharu, beradu amis darah. Di tengah ruangan, persis di belakang meja bundar, duduk seorang lelaki berbadan kurus. Rambutnya ubanan, hanya menghiasi bagian belakang batok kepalanya. Nyala lilin seperti bercermin di jidatnya yang lebar-mengkilat. Menjalar-jalar layaknya tarian erotis bergumpal eksotis.

Dia membunyikan lonceng kecil di atas meja. Seketika pintu terbuka, dan memasukkan hawa segar dari luar. Seorang lelaki gemuk-pendek, mengenakan jubah putih dan bertopi kerucut dari kain, masuk dengan wajah sumringah. Bibirnya yang tebal bergetar, pertanda hatinya sukacita. Di belakangnya berdiri sebuah meja beroda, stainless steel. Dengan nampan bertutup alumunium.

Begitu dia membuka tutup nampan itu, hawa amis meledak ruangan. Bibir si gemuk-pendek bergetar lagi. Dia gegas berdiri di belakang meja beroda itu. Mendorongnya buru-buru, jangan sampai lelaki kurus yang duduk di belakang meja bundar tersebut, tak betah menunggu. Lelaki kurus menjengkelkan. Lelaki yang memiliki selera makan malam yang aneh dan menjijikkan. Hingga bagi lelaki gemuk-pendek itu, yang bertugas sebagai koki, perjamuan malam selalu menjadi sangat mencemaskannya. Benarlah sikap beberapa koki pendahulunya, minggat buru-buru, karena tak tahan memenuhi selera lelaki kurus itu. Dan si gemuk-pendek kini mendapat tugas yang maha berat. Dia pun tak sanggup minggat. Dia butuh uang banyak demi menyiapkan pesta perkawinan anak perempuannya. Tak ada cara lain, hanyalah menjadi koki si kurus, yang kabarnya royal masalah duit.

"Ke sini! Hantarkan buru-buru hidanganku! Aku sudah sangat lapar!" geram si kurus.

"Baik, Tuan Marsis. Ini pesanan Tuan." Si gemuk-pendek yang senang dipanggil dengan sebutan Gemuk, menghidangkan hati-hati nampan itu di hadapan Tuan Marsis. Aroma amis kembali menyeruak menguasai ruangan pengap. Pintu yang tadi terbuka lebar, telah tertutup otomatis.

"Hmm, otak segar!" Tuan Marsis yang kurus itu, menyeringai saat membuka tutup nampan. Segumpal besar benda putih berbentuk usus bersusun dan dipenuhi urat-urat, menyambut seleranya. Benda putih itu adalah otak manusia. Otak yang digenangi arak murni. Sejumput selada di pinggir nampan dan mangkok kecil berisi saus tomat dan sambal, serta irisan cabe rawit berikut rajangan kemangi.

"Ini otak paling hebat, Tuan Marsis. Otak jenius seorang fisikawan dari Negeri Tirai Bambu. Saya mengolahnya sesuai selera Tuan. Tak terlalu matang, tak terlalu dingin. Sebelumnya saya rendam dengan air cuka. Lalu setengah jam dikukus. Disiram arak murni. Dan sekarang siap disantap. Mudah-mudahan dengan menikmati otak fisikawan ini, Tuan menjadi sangat jenius."

"Ya, sudah! Kau memang koki jempolan, hingga harus capek-capek mengimpor otak si jenius ini ke tempat kita. Atas hasil usahamu, aku berikan kau tips. Gajimu tetap kukasih utuh akhir bulan. Sudah, keluarlah! Aku ingin bersantap dulu!" Tuan Marsis meraih garpu dan sendok. Dia menyisihkan pisau jauh-jauh. Dia tak butuh, karena otak fisikawan itu telah lembut.

Tuan Marsis benar-benar merasakan sensasi memuaskan. Otaknya menjadi sangat enteng. Ide-ide begitu saja berjumpalitan. Dia bergegas menyudahi makannya. Menyisakan seperempat bagian otak fisikawan itu kepada kucing hitamnya yang setia menunggu di bawah meja. "Hmm, kau juga mesti jenius, kucing!"

"Meauwww!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun