Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggantang Asap

28 Januari 2019   12:10 Diperbarui: 28 Januari 2019   13:43 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, di samping gembira bekerja dengan hasil cukup memuaskan, selalu terselip di hatiku bahwa apa yang kulakukan ini sebenarnya salah. Suatu kali aku membaca koran, bahwa beberapa kota dan desa telah risau oleh gangguang asap. Pemerintah mencak-mencak tentang kerugian negara akibat pembakaran lahan. Mungkin termasuk mencak-mencak kepadaku dan Said. Tapi, bukankah ini pekerjaan yang bisa menafkahi keluarga kami  berdua agar hidup lebih layak?

Kemarin sebelum mulai bekerja, aku sedikit bertanya kepada pengawas, apakah pekerjaan kami membakar lahan  sudah sepengetahuan pemerintah. Pengawas tertawa sumbang sambil mengatakan bahwa tugas aku dan Said hanya membakar lahan dan mengawasi kobaran api. Bukan mengurusi masalah ijin pemerintah dan sebagainya. Aku hanya bisa terdiam, apalagi Said kemudian menyikut lenganku.

"Pengawas kok tak datang-datang, Said?" tanyaku. Hampir pukul dua belas siang. Perut sudah melilit. Salahku tak membawa ransum tadi pagi, karena berharap ransum yang dibawa pengawas.

"Tak tahu! Apa sebentar lagi, ya?" Said duduk di atas tungkul pohon.

Saat kami sediaman, tiba-tiba terdengar beberapa langkah kaki dari utara. Kami tersenyum gembira. Pengawas dan ransum sudah datang. Namun, bukan pengawas yang datang, melainkan orang-orang berseragam. Mungkin petugas dari perusahaan kebun sawit.

Cepat sekali kami dihadapkan pada kecemasan dan ketakutan. Said berubah serupa bajing, melompat melewati rimbun ilalang yang mengepulkan asap. Tak menoleh atau berhenti kendati terdengar suara letusan senjata api. Tinggal aku digelandang, dengan tangan terikat tali, dijejalkan ke bak mobil pick up. Di bawa ke kantor polisi dan didudukkan di ubin sel yang dingin.

"Tahu apa kesalahan Bapak?" Seorang lelaki gemuk dengan kumis melintang, berkacak-pinggang di seberang jeruji sel, menatapku sangar.

"Tahu, Pak?"

"Bapak tahu bahayanya membakar lahan? Tak hanya rumput dan pohon yang mati. Tapi binatang-binatang ikut mati. Orang-orang penyakitan karena menghisap asap terus-terusan. Dan beberapa bisa saja ikutan mati."

"Saya hanya orang suruhan, Pak!"

"Kenapa mau di suruh? Bapak bisa dihukum minimal 3 tahun penjara dalam kasus ini!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun