Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Senja

25 Januari 2019   21:36 Diperbarui: 25 Januari 2019   21:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak Piah---meskipun pada awalnya aku menolak mentah-mentah hasil diagnosa dokter Brutus---mengidap penyakit leukimia, hidupnya seolah tercerabut dari jasad. Hari-harinya selain berurusan dengan rumah sakit, tentu saja di atas kursi goyang sambil menikmati senja. 

Entah apa yang membuatnya sampai mencintai senja  itu. Bahkan bujuk-rayu untuk makan bubur atau minum obat, harus selalu menghadap senja. Padahal dia butuh istirahat nyaman, di atas kasur bersamaku. Kasur yang selalu dingin, setelah dia memilih kursi goyang dan senja keparat itu.

Pernah suatu kali aku mengajaknya jalan-jalan, ke taman misalnya, atau ke pinggir sungai.  Anak-anak juga ingin memboyongnya, berpesiar dengan pesawat terbang, ke tempat-tempat yang belum pernah dia singgahi. Jawabannya hanya tatap memelas sambil bertanya, apakah dia boleh membawa senja?

Aku kesal. Aku yakin ini gara-gara, ah..siapa nama pengarang itu? Ya, ya. SGA. Istriku, entah berapa kali mengulang-ngulang membaca cerpen karya lelaki itu. Terutama yang beraroma senja. Dan ketika buku berjudul Sepotong Senja terbit, dialah orang pertama yang langsung memesan dari pengarangnya, plus dibubuhi tanda tangan bertinta emas di bagian sampul belakang. 

Sial! Awalnya aku berpikir itu wajar saja. Tidak ada yang salah dengan cerpen dan kebiasaan membaca. Tapi kalau membaca cerpen lelaki itu, berulang dan terus berulang, apakah aku salah mencurigainya? Bisa saja istriku tidak hanya menyukai cerpen, tapi sekaligus terobsesi untuk mendapat cinta lelaki pengarang itu. Huh!

Untung saja setelah Piah melahirkan anak yang pertama, menyusul yang kedua, karya pengarang itu akhirnya hanya mengisi rak buku. Terhimpit oleh buku-buku non fiksi, hingga berdebu. Kesibukan mengurus anak-anak telah menyita waktunya. 

Lalu, seperti kataku semula, penyakit leukimia itu tiba-tiba mengembalikannya ke muasal, dengan tidak membaca karya lelaki itu, melainkan masuk ke dalam cerita. Menjadi pelakon perempuan yang hidup menghadap senja, dan kema.... Ah, tidak! Tidak boleh dia mati sedemikian cepat. Dia harus kuat. Penyakit hanya musabab seseorang mati beraktifitas, sedangkan jasad, jiwa dan akal masih hidup. Mati adalah ujung gelap, yang siapapun tidak bisa menebak, bahkan oleh seorang dokter hebat sekalipun.

"Cucu kita mau ulang tahun," kataku. Dia menatapku. Sayu. Kerut dahinya tidak sesuai dengan usianya yang baru menginjak lima puluh tiga tahun. 

"Cucu yang mana?"

"Pio, anak sulung Murtandi." Aku menyuapkan bubur ke mulutnya. Belakangan ini dia mulai malas makan kalau tidak kusuapi. Kami lebih sering berlama-lama menikmati senja, dan dia berkata merasa kembali muda. Muda yang olehku terlihat layu laksana daun kering yang siap dirontokkan.

"Boleh aku membawa senja?" Permintaan yang menohok ulu hati. Aku ingin menolak permintaannya, hanya saja aku takut dia akan menolak permintaanku. Sebagai jawaban untuk memuaskannya, aku mengangguk. 

Sebelum kami berangkat ke rumah Murtandi, aku mengambil pisau carter. Aku menyayat senja itu seolah memotong senja yang dilakukan Sukab, tokoh si pengarang itu. Tapi aku tidak bisa melakukan seperti dia, mengantongi senja. Aku hanya bisa menggulung, dan mencoba memasukkannya ke dalam tas.

"Biarlah digulung saja. Jangan dimasukkan ke dalam tas. Nanti kusut. Kau tidak pernah mendengar cerita tentang senja yang kusut, kan!" Gulungan senja itu dia pegang hingga di rumah Murtandi.

Aku mengira dia akan melupakan senja, karena begitu ramai tamu anak-anak di rumah Murtandi. Ternyata perkiraanku melenceng. "Aku ingin melihat ke luar jendela dan memandang senja. Kau pasangkan senjaku!" katanya seolah menarikku dari kerumunan anak-anak yang bernyanyi riang. Kupandang Murtandi. Dia, dengan gerak matanya, mempersilakan aku memasang senja itu. 

"Kenapa belum dipasang?" tanya Piah, setelah sekian menit menunggu. Aku menyeka keringat. Sungguh susah memasang senja di rumah Murtandi. 

"Anak-anak butuh yang terang, ceria. Mereka tidak ingin yang kelam, senja. Biarlah mereka menikmati masa muda. Kita jangan egois. Mereka tidak, maksudku belum membutuhkan senja seperti kita."

"Maksudmu yang egois itu aku, kan! Tidak usah berbasa-basi! Kau tidak pernah menyenangi senja seperti aku!" Tatapnya layu. Kepalanya ditekuk. Dia membisu hingga keriuhan, senyap. Kami pulang ke rumah, juga dengan bisu. Ketika dia memintaku memasang senja kembali di tempat semula, aku sudah kepayahan dan rubuh di sofa. Kataku tidak ada senja, karena hari sudah malam.

***

Pagi yang menyambar dari jendela, membangunkanku. Aku teringat Piah. Ternyata dia masih tidur di atas kursi goyang. Aku merasa kasihan karena dia kehilangan senja. Matahari mencengkeram tubuhnya. Gulungan senja kugelar. Perlahan aku memasang senja dengan susah payah. Aduh, salahku sebelumnya tidak hati-hati memotong senja. Ukuran senja tidak lagi sama dengan ukuran jendela. Matahari tetap saja bisa melewati celah antara senja dengan bingkai jendela. 

Lalu, aku mencoba menyambung senja dengan potongan berwarna emas. Kurekatkan dengan lem, dan memasang senja itu di tempat semula. Berhasil! Kucium kening Piah dengan lembut. "Senjamu sudah terpasang," kataku. Dia tetap diam. Saat kusentuh wajahnya, kepalanya kulai ke kiri. Piah telah kehilangan senja. Dia menuju ujung gelap. Aku meleleh, menangis di pangkuannya.  

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun