Sebelum kami berangkat ke rumah Murtandi, aku mengambil pisau carter. Aku menyayat senja itu seolah memotong senja yang dilakukan Sukab, tokoh si pengarang itu. Tapi aku tidak bisa melakukan seperti dia, mengantongi senja. Aku hanya bisa menggulung, dan mencoba memasukkannya ke dalam tas.
"Biarlah digulung saja. Jangan dimasukkan ke dalam tas. Nanti kusut. Kau tidak pernah mendengar cerita tentang senja yang kusut, kan!" Gulungan senja itu dia pegang hingga di rumah Murtandi.
Aku mengira dia akan melupakan senja, karena begitu ramai tamu anak-anak di rumah Murtandi. Ternyata perkiraanku melenceng. "Aku ingin melihat ke luar jendela dan memandang senja. Kau pasangkan senjaku!" katanya seolah menarikku dari kerumunan anak-anak yang bernyanyi riang. Kupandang Murtandi. Dia, dengan gerak matanya, mempersilakan aku memasang senja itu.Â
"Kenapa belum dipasang?" tanya Piah, setelah sekian menit menunggu. Aku menyeka keringat. Sungguh susah memasang senja di rumah Murtandi.Â
"Anak-anak butuh yang terang, ceria. Mereka tidak ingin yang kelam, senja. Biarlah mereka menikmati masa muda. Kita jangan egois. Mereka tidak, maksudku belum membutuhkan senja seperti kita."
"Maksudmu yang egois itu aku, kan! Tidak usah berbasa-basi! Kau tidak pernah menyenangi senja seperti aku!" Tatapnya layu. Kepalanya ditekuk. Dia membisu hingga keriuhan, senyap. Kami pulang ke rumah, juga dengan bisu. Ketika dia memintaku memasang senja kembali di tempat semula, aku sudah kepayahan dan rubuh di sofa. Kataku tidak ada senja, karena hari sudah malam.
***
Pagi yang menyambar dari jendela, membangunkanku. Aku teringat Piah. Ternyata dia masih tidur di atas kursi goyang. Aku merasa kasihan karena dia kehilangan senja. Matahari mencengkeram tubuhnya. Gulungan senja kugelar. Perlahan aku memasang senja dengan susah payah. Aduh, salahku sebelumnya tidak hati-hati memotong senja. Ukuran senja tidak lagi sama dengan ukuran jendela. Matahari tetap saja bisa melewati celah antara senja dengan bingkai jendela.Â
Lalu, aku mencoba menyambung senja dengan potongan berwarna emas. Kurekatkan dengan lem, dan memasang senja itu di tempat semula. Berhasil! Kucium kening Piah dengan lembut. "Senjamu sudah terpasang," kataku. Dia tetap diam. Saat kusentuh wajahnya, kepalanya kulai ke kiri. Piah telah kehilangan senja. Dia menuju ujung gelap. Aku meleleh, menangis di pangkuannya. Â
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H