Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Api

24 Januari 2019   16:03 Diperbarui: 24 Januari 2019   16:10 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya selalu berharap, Ibu selalu tersenyum menyambut saya pulang sekolah atau pulang bermain. Di pintu, Ibu menggendong Adik.  Dia menanyakan kepada saya apakah pelajaran di sekolah baik-baik saja. Atau, adakah yang mengganggu saya saat bermain. Lalu, dia akan menawarkan sepiring nasi dengan lauk menggoda. Atau, dia menghidangkan segelas susu hangat dan sepotong roti bakar berselimut susu kental manis, bertabur meises.

Tapi harapan saya tetap tinggal harapan. Ibu bagaikan api setiap kali menyambut saya di depan pintu. Dia seolah membakar tubuh saya menjadi abu. Terkadang saya berpikir, apakah dia Ibu saya. Apakah dia sebenarnya jelmaan kuntilanak yang dipaku Ayah kepalanya, lalu Ayah memperistrinya.

Seperti siang ini, Ibu menjadi api yang memegang gagang sapu di depan pintu. Rambutnya menyala-nyala. Matanya menyilaukan api. Mulutnya menyemburkan bara. "Tole, apa lagi yang kau lakukan di sekolah? Apa-apa serba mahal setelah BBM naik. Kau malahan pulang-pulang dengan baju kotor. 

Lihat, sudah dua hari air PAM mati! Ayahmu juga tak memberi uang belanja. Pembeli sabun colek pun tak ada!" Ibu menceracau, lalu mengakhiri ceracauannya dengan hantaman gagang sapu ke kaki saya. Rasanya menguliti betis. Rasanya menusuk ke tulang kering. Saya takut kaki saya akan patah. Tapi kiranya tak apa-apa, selain kulit betis memar. Saya menangis di sudut ruang makan sambil berjongkok seperti monyet kedinginan. Lalu, Ibu menyorongkan makanan di atas piring seng, mengumpamakan saya anjing kudis yang kelaparan.

Saya sayang Ibu, meskipun dia api. Meskipun dia berulangkali membuat saya menangis, saya tetap berusaha riang beberapa menit atau jam kemudian. Saya terkadang ketakutan membayangkan Ibu hilang, dan dijebloskan ke dalam sel penjara. Berkali-kali saya menonton berita di televisi, bagaimana seorang Ibu harus menjadi penghuni penjara karena dia menyiksa anaknya.

Ibu bagi saya bukanlah penyiksa, meskipun dia api. Saya tahu betapa banyak tumpukan piring, pakaian, yang harus dia cuci. Bagamana dia seperti kesetanan melihat kran yang selalu seperti mengencangkan diri, tak mau meneteskan air. Dia kemudian memaki-maki PAM. Belum lagi gunungan pakaian yang belum diseterika. PLN selalu main petak umpet dengan Ibu. Terkadang menyala, tapi lebih suka mati.

Susu Adik sering tanpa persediaan. Adik suka menangis menjerit-jerit. Kendati Ibu menyorongkan dadanya, Adik ogah dan meronta. Dia lebih suka susu formula.

"Tole belum tidur?" Ayah tiba-tiba sudah ada di ruang tamu. Saya langsung mematikan televisi. Pukul sembilan malam bukanlah waktu yang wajar bagi anak seperti saya tetap terjaga. Apalagi sambil menonton televisi yang acaranya semua untuk dewasa. Tapi pukulan Ibu dengan gagang sapu tadi siang, masih terasa. Perih di kulit betis dan ngilu di tulang. Ibu sempat berbaik-baik kepada saya sebelum dia tidur. Menanyakan kabar betis saya. Saya mengatakan baik-baik saja.

"Belum, Yah! Tole nunggu Ayah," jawab saya berbohong. Jangan sampai Ayah tahu kalau betis saya memar. Bisa marah besar dia. Dia paling tak setuju seorang tua menganiaya anak. Anak itu amanah dari Tuhan. Dulu, Ayah dan Ibu mengusahakan bertahun-tahun, berobat ke dokter dan orang pintar, agar punya anak. Tak putus-putus mereka berdoa kepada Tuhan, yang kemudian mengamanahkan anak bernama Tole. Bila kemudian dia mengetahui Ibu menyiksa---oh, bukan---memarahi saya, bisa terjadi perang. Tak perduli perang malam-malam, siang-siang, atau pun fajar.

"Kakimu kenapa?" Mata Ayah selalu lebih awas dari perkiraan saya. Meskipun saya mencoba menutup-nutupi sedari tadi, dia tetap bisa melihat memar di betis saya. "Itu perbuatan Ibu, ya?" Suara Ayah melengking. Ayah bekerja sebagai karyawan di bagian mesin pabrik. Dia bekerja dalam ruangan yang panas dan pengap. Maka, sangat cepat pula amarahnya memanas, bila ada sesuatu yang mencederai hatinya.

Apa yang saya bayangkan bakal ada perang, kini terjadilah. Ayah melangkah panjang-panjang menuju kamar. Pintu kamar dibuka keras. Daun pintu menghantam dinding. Ibu berteriak, lalu terdiam. Adik menjerit, memangis, lalu tak mau diam. Ayah menceracau tentang penganiayaan. Tentang hak asazi anak. Tentang hukum penganiayaan. Tentang kantor polisi. Penjara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun