"Apa hape tivi? Layarnya terlalu kecil!" Itu protes anak-anak ketika aku memutuskan mengganti seluru hape kami dengan hape china yang ada tivinya.
"Lagi pula, hape kodian begitu, malu, Ma!"
"Terserah! Bagi siapa saja yang tak mau menurut kemauan Mama, jangan menyesal tak bisa bebas menonton tivi." Aku merengut.
"Okelah! Tapi hape kita jangan dijual dong! Jangan tukar-tambah, begitu!"
"Bodo! Siapa yang tak mau, sudah! Papa kalian benar. Acara tivi memang banyak yang tak bagus. Biarlah dia menonton fauna saja. Ketimbang dia senewen, lalu tak bisa mencari nafkah, bagaimana?"
Semua terdiam. Meskipun menggerutu panjang-pendek, akhirnya semua mengganti hape lama dengan hape yang ada tivinya.
Kondisi kembali aman seperti yang sudah-sudah. Kami anak-beranak tak ambil pusing lagi tentang perebutan remote. Mijan mau seharian di depan tivi, mau semalaman, mau berminggu-minggu, terserah!
Hingga suatu senja sepulang arisan, aku kebingungan mencari Mijan. Hari libur begini, apalagi menjelang maghrib, banyak acara fauna di tivi. Tapi ini, tivinya saja dalam posisi mati. Aneh, giliran hape sudah diganti, Mijan malahan seperti mulai ogah menonton tivi.
"Pa, Papa di mana?" jeritku.
Mpok Nem keluar dari kamar dengan rambut kusut. Habis tiduran dia! Wajahnya mendadak cerah. "Nah, kebetulan nggak ada yang nonton tivi, bisa lihat dangdutan, dong!" ucap Mpok Nem.
"Eh, malah senyam-senyum! Mana Tuan?" Pikiranku tak tenang. Jangan-jangan rambut kusutnya bukan lantaran habis tiduran, melainkan habis yang lain. Jangan-jangan Mijan.... Awas, ya! Kebiasaan sekarang, kalau istri sedang tak di rumah, Tuan Besar sering menyatroni pembantunya.