Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sutinah

20 Januari 2019   22:10 Diperbarui: 20 Januari 2019   22:19 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbulan-bulan dalam dekapan gedung itu, membuatnya tahu banyak tentang nama pulau tempatnya tinggal dari beberapa pelanggan yang baik hati---termasuk lelaki yang mempertaruhkan nyawanya itu. Dia juga tahu bagaimana alur perjalanan menuju pulau Sumatera, kemudian melanjutkan perjalanan darat nun ke daerahnya yang tersudut di Sumatera Selatan.

Tahukah kau akhirnya dia bisa kembali ke pangkuan kedua orangtuanya? Ah, tepatnya ke pangkuan salah seorang dari mereka---ibunya. Sebab ayahnya telah meninggal karena penyakit tua.

Sutinah berniat mencari nafkah dengan jalan halal saja. Membuka warung kopi di perempatan jalan, misalnya? Ah, kenapa dia tak terpikir dari dulu. Kenapa? Ya, mungkin karena tak mempunyai modal. 

Tapi bukankah sekarang dia juga kere? Ah, tidaklah sampai segitu. Dia masih sempat menggadaikan nurani kepada seorang lelaki kaya saat berada di sebuah kota sebelum dia melanjutkan perjalanan melalui jalan darat beberapa hari lalu. Lelaki itu menggenggamkannya uang lumayan banyak. Dia berharap Sutinah bisa kembali lagi, dan dia berjanji akan memberikan jumlah lebih dari itu.

"Cih! Tak sudi!" batin Sutinah membentak. Dia telah melupakan kenajisan yang telah menghinggapi dirinya. Dia ingin menjadi seorang perempuan yang tobat dari sebuah pekerjaan bejat yang sebenarnya terpaksa dia lakukan.

Merubunglah orang-orang---terutama kaum lelaki---ketika Sutinah membuka warung kopi. Dia seolah rumpun bunga yang tumbuh di lahan tandus. Harumnya menyengat setiap kumbang untuk mendekat. Wajarlah uang menepi ke pundi-pundi Sutinah dengan amat derasnya. 

Hingga suatu hari Nyi Inoh memampetkan aliran uang itu. Nyi Inoh memarahi Sutinah sebagai perempuan tak tahu diuntung. Dia hampir menjambak rambut perempuan itu kalau saja sepupu Sutinah tak datang membantu.

Kau tahu bagaimana cerita selanjutnya? Warung kopi Sutinah tiba-tiba sepi. Nyi Inoh telah menyebar kebusukan ke seluruh warga bahwa Sutinah adalah bekas seorang penjaja di negeri jiran. Meskipun kaum lelaki malahan bersemangat karena memiliki harapan banyak dari bekas penjaja seperti Sutinah, toh semuanya tak berani melawan amukan para istri atau orangtua mereka.

Sutinah mencoba menjelaskan yang sebenarnya. Toh siapa yang sudi mendengar? Jangankan Sutinah, orang yang bersangkut-paut dengannya, pun dianggap najis. Begitulah, ketika ibu Sutinah meninggal, hanya dia dan keluarga dekatnya yang bersusah-payah melakukan prosesi pemakanan. Bahkan di hari lain, dengan kondisi warung kopi yang sepi, beberapa pemuda membakar warung itu. Puas membakar warung itu, mereka merubuhkan rumah Sutinah. Betapa bengis amukan warga. 

Terkabar Sutinah melarikan diri ke daerah lain. Terkabar pula dia telah ditemukan tewas di aliran sungai yang berarus deras. Hanya saja sampai saya menuliskan cerita ini, orang-orang di daerah itu sekali-dua melihat Sutinah di bekas warungnya itu. Sekali dua orang-orang mendengar suara perempuan menembang lirih dari bekas rumahnya yang telah rata dengan tanah.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun