Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sutinah

20 Januari 2019   22:10 Diperbarui: 20 Januari 2019   22:19 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia tak tahu Medan itu di mana. Dia tak faham bagaimana mesti mencapai negeri jiran. Dia hanya menuruti kehendak Nyi Inoh dan segala perintahnya ketika tiba di sebuah pelabuhan setelah hampir tiga puluh jam menempuh perjalanan melelahkan.

"Kita akan tiba di negeri sejahtera!" Selalu itu yang dikumandangkan Nyi Inoh, mengobarkan semangat perantauan kepada perempuan-perempuan bau kencur itu. Sehingga  mereka merasakan deru ombak dan anyir laut saat berada di kapal berbadan sedang. 

Mereka kemudian menjejakkan kaki di sebuah pelabuhan dengan perasaan gamang. Negeri apa ini? Orang-orang berlalu-lalang seakan disibukkan oleh keperluan yang tak putus-putus.

"Kita menyambung perjalanan dengan kapal lain!" Nyi Inoh semakin bersemangat berbicara. Kapal yang dia sebutkan taklah bisa disebut kapal. Hanya sebuah perahu ketek, seperti perahu untuk menyeberangkan penumpang di sungai-sungai yang ramai membelah Sumatera Selatan.

Tapi perempuan-perempuan kencur itu tak memusingkan kapal besar, kapal sedang, atau perahu ketek sekalipun. Mereka sudah ingin menyadap kesejahteraan di negeri jiran itu. Sangat menjanjikan!

Tibalah akhrinya Sutinah di dekapan sebuah pulau. Di dekapan gedung dengan pagar-pagar tinggi dan senyum liar lelaki-lelaki. Sutinah mulai merasa ketakberesan. Entah teman-temannya. Sehingga dia hanya mampu bisa menjerit dan meronta begitu malam menyergap dengan belitan lelaki yang haus segala. 

Dia hanya bisa mencerecau menyebut-nyebut orangtuanya yang sepuh, meminta tolong, namun tak berani menyebut nama Tuhan. Dia merasakan tak pantas menyebut nama Tuhan di tempat yang sedemikian ketat memeluknya, meremukkan tulang-tulang juga kesuciannya.

Apalah daya selain berjuang menyusun rencana melarikan diri dari neraka dunia itu. Berbilang bulan dia menerima tekanan-tekanan dari para lelaki juga berita-berita mengenaskan para perempuan yang disiksa oleh lelaki-lelaki jadah karena pelarian mereka tak berhasil. 

Begitu banyak anjing-anjing penjaga di situ, dari yang berbentuk manusia, juga berbentuk anjing sebenarnya. Bagaimana pula tentang kabar berita Nyi Inoh? Entahlah!

Begitupun Sutinah tak ingin terperangkap terus-terusan di dalam dekapan yang menyiksa itu. Nasib mujur mengenal seorang lelaki, membuatnya bisa melepaskan ikatan dari gedung itu. Tentu saja harus menerima nasib sial, luka-luka lecet yang memenuhi hampir sepertiga tubuhnya. Lelaki yang membantunya demikian hebat, menimbulkan kemasygulan, karena berhasil ditangkap centeng-centeng. Entah bagaimana hasil akhirnya, ataukah lelaki itu dirajam sampai mati?

Sutinah bagaikan perempuan yang tersesat di belantara yang sangat asing. Dia begitu saja terpaksa rela menggadaikan nurani kepada seorang tukang perahu demi mengantarkannya ke seberang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun