Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paku Bumi

19 Januari 2019   22:36 Diperbarui: 19 Januari 2019   22:56 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pokoknya bantu aku lepas dari mimpi-mimpi buruk itu!" Kuceritakan kepadanya tentang mimpi neraka dan pembenturan kepala. Dia manggut-manggut sambil memegang dagu. Entah dia paham atau tak, aku ogah perduli. Yang penting dia bisa melenyapkan mimpi-mimpi buruk itu dan mengembalikan tidurku. Mengembalikan seoarang Rubiat yang bersemangat dan menanggalkan wajah kuyunya.

* * *

Paku bumi berdentam. Tanah bergetar. Aku setengah berteriak memanggil mandor kepala. Lelaki bertubuh berat itu pun datang tergopoh. Dia membuka topi, lalu mengibas-ngibaskannya menghalau panas.

Dua minggu lebih setelah proyek dimulai, baru kali ini aku hadir di lapangan. Terpaksa, kalau tak diawasi, pekerjaan mereka lamban. Lagi pula aku tak ingin berkutat masalah mimpi menyeramkan terus. Percuma pula berharap pada uncang pemberian Pardoyo. Selama masih ada kemustahilan bagiku tentang dukun dan mistik, selama itu pula apa yang kait-mengait dengan itu, termasuk obat, tak mempan bagiku. Segala sesuatu memang berawal dari sugesti. Hingga yang mustahil bisa menjadi munasabah.

"Siap, Pak! Pekerjaan hampir mencapai enam persen!" lapor mandor kepala.

"Enam persen? Kok bisa?"

Aku telah beberapa kali memegang kendali beberapa proyek. Tak seperti biasanya berjalan mulus, kali ini hampir mirip jalan siput. Entah apa penyebabnya. Apa ini berkaitan dengan mimpi-mimpi menyeramkan itu? Atau, aku yang salah, terlalu stress hingga berimbas kepada anak buah??

Mandor kepala menjelaskan secara kasar progres pekerjaan. Aku mendengarnya seolah desisan. Paku bumi menghantam-hantam. Kepalaku bertalu. Keringat dingin terbit di kening. Mandor kepala menyangsikan kondisiku. Maka, dia mengantarku ke depan sebuah rumah buruk sekitar dua puluh meteran dari lokasi kerja.

"Aku baik-baik saja. Teruslah bekerja." Kuseka keringat. Mandor kepala berlari-lari kecil meninggalkanku. Sesaat tenang setelah kusandarkan badan ke tiang penyangga rumah buruk itu.

Seorang lelaki tua kemudian membuka pintu rumah. Dia berdiri di sebelahku.

"Pekerja di lokasi itu, ya?" Dia menunjuk ke arah paku bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun