"Anda terlihat kecapekan, Pak Rubiat?" Marsalim menepuk-nepuk punggungku. Harusnya aku sedang bersemangat mengerjakan tugas-tugas kantor, tapi kali ini hanya melamun dan sedikit terkantuk. Kemunculan Marsalim juga tak kusadari. "Kantung mata anda juga terlihat menghitam. Kurang tidur? Kalau tak enak badan, berobat saja, Pak!"
Aku melemparkan senyum. Entah enak dilihat atau tidak. Yang pasti Marsalim menggeleng-geleng. "Anda harus bugar, Pak. Kalau tak bugar, pekerjaan ini bakalan terbengkalai. Anda tak ingin dipinalti kalau kerja melampaui tenggat waktu, kan?"
Mataku lamur menatap lembar sketsa di meja. Progres pekerjaan masih lima persen dalam waktu dua minggu. Harusnya aku mengejar target, karena sesuai skedul, dalam waktu dua minggu, pekerjaan mesti mencapai sepuluh persen. Mana lagi sekarang sering hujan, hingga pekerjaan terpaksa dihentikan. Marsalim juga terus menekanku, bahwa pekerjaan harus rampung dalam waktu dua puluh minggu.
Tak ada perbincangan yang berarti selain suara dengung yang kudengar. Aku menjawab tiap kali Marsalim bertanya dengan iya atau tidak. Kepalaku seperti dibanduli batu. Kelopak mataku seolah bertambah rapat. Apakah ini persekot dari mimpi-mimpi itu sebelum pelunasan di akhirat nanti? Ingin rasanya membenturkan kepala ke meja biar aku tersadar. Agar otakku terbuka menerima semua kata-kata yang termuntah dari mulut Marsalim.
"Saya permisi! Semoga anda melaksanakan pekerjaan sesuai permintaan kami." Marsalim berdiri dan berjalan menjangkau pegangan pintu. Dia kemudian menghilang di balik pintu dengan tawa yang renyah.
Itulah yang kemudian mengalihkan jalanku sepulang kantor. Biasanya aku tak betah di luaran selain pulang ke rumah menemui istri dan anak-anak. Â Dan kini mobil mengarah rumah Pardoyo. Bujang berusia kepala empat itu, pasti akan tertawa menerima kedatanganku. Meleceh, mungkin. Tapi mimpi-mimpi telah membuatku kalah. Aku tak ingin gila dibelit stress. Tak ingin sekarat karena takut tertidur dan mimpi.
"Ha, apa yang membawamu kemari, Kawan? Masalah keluarga? Sudah kubilang, berkeluarga itu terkadang membuat hidup lebih njlimet. Coba kau turuti aku, membujang selamanya. Senang-senang saja, kan?" Pardoyo menyambutku dengan ejekan khas. Itu trik khusus agar aku tak mengejek lebih dulu tentang risiko membujang.
"Bukan masalah itu. Tapi aku tak bisa tidur nyenyak!"
"Lho?" Dia membelalak. "Aku bukan dokter yang bisa meresepkan obat tidur!"
"Aku hanya ingin kau hilangkan mimpi-mimpi menyeramkan yang menerorku dua mingguan ini." Kuseruput kopi yang dihidangkan adiknya. Meski berpantang kopi, kali ini aku melanggarnya. Stress yang berat telah membuatku lebih sering lari dari pakemku selama ini.
"Hahaha! Bukankah kau menganggapku hantu jembalang? Si murtad? Rubiat, aku hanya seorang dukun. Kau dulu tak percaya akan mantra-mantra. Kenapa sekarang kau mendekatiku? Kau ingin berselingkuh? Syirik?"