Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lima Tongkol Jagung

18 Januari 2019   10:35 Diperbarui: 18 Januari 2019   11:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bisa aku ambil besok. Itu pekerjaan mudah." Kar kembali mengumpulkan rencananya yang terserak. Tapi sebelum puzzle rencana itu utuh, Icah berkata lagi;

"Tapi aku  mau jagung yang Kakak petik dari batangnya!"

"Langsung dipetik dari batangnya?" Kepala Kar pening tujuh-keliling. Bagaimana mungkin dia mendapatkan ladang jagung di bantaran Sungai Musi? Atau haruskah dia ke Jalan Tanjung Api-Api? Kar pernah melihat jagung-jagung yang siap panen di sana seminggu sebelumnya. Pasti tak akan dimarah peladang, bila dia meminta lima tongkol. Hanya lima tongkol. Jika tak hendak, biarlah dia berpuasa merokok dua hari karena jatah rokok dibelikan lima tongkol jagung.

"Tak apalah! Besok aku carikan!" geram Kar mengubun. Matanya mendelik ke arah lain. Membayangkan puasa merokok dua hari, membuat kejantanannya lumpuh. Baginya laki-laki tanpa merokok tak gagah. Tak ada percaya diri. Meski dia selalu melihat spanduk-spanduk di jalanan ramai oleh kata-kata; Merokok Membahayakan Kesehatan".

"Aku mau malam ini Kakak carikan!"

Benar-benar istri kepala batu! Kar menengadah membuang gulana.

"Mana ada peladang yang menunggui ladangnya malam begini? Kalau besok, kan aku bisa bertemu mereka. Tak dapat diminta, bisa kubayari. Sudahlah! Besok pagi saja aku carikan untukmu," keluh Kar. Biasanya Icah penurut. Tapi untuk malam itu, jangan harap!

"Kakak mau anak kita ileran?"

Aduh! Bila begini hasilnya, Kar tak bisa berkata-kata lagi. Dia kesal, bagaimana sejak dulu ngidam menjadi sangat penting dalam ritual kebuntingan! Siapa yang tega menjadikannya undang-undang? Tabiat yang mengada-ada dan sengaja diadakan. Menyengsarakan suami!

"Biar kau turut merasakan bagaimana beratnya seorang istri membawa buntalan beban itu ke mana-mana, Karawit!" Terngiang perkataan mendiang ibunya ketika dulu Kar memprotes ihwal ngidam itu.

Terpaksalah Kar bersalin pakaian. Dia tak ingin ancaman Icah tentang anak ileran, terbukti kelak. Dia bergegas ke rumah Husin. Teman bermainnya mengadu ayam itu, kebetulan belum ke peraduan bersama sang istri. Biasanya Husin sudah tak betah duduk bersantai di depan rumahnya. Setiap kali suasana remang, apalagi beradu dingin, pikirannya selalu ada pada kasur dan pertarungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun