Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laula Anak Papua (Cernak)

17 Januari 2019   15:18 Diperbarui: 17 Januari 2019   15:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada anak baru di kelas IVA. Dia berbadan kurus dan berambut keriting. Dia berkulit hitam, tapi giginya putih cemerlang. Namanya Laula Mandowen. Anak asli Papua, provinsi terujung di Indonesia. Pertama kali masuk di kelas Bambang, dia tak diperdulikan anak-anak. Ketika memperkenalkan nama dan asal daerahnya, kelas berdengung seperti laron. Seluruh anak sibuk mengobrol. Jika Pak Anton tak berteriak menyuruh diam, mungkin kelas hampir mirip pasar.

Jam istirahat Laula ke kantin sekolah. Tapi, anak-anak kelas IVA cepat-cepat meninggalkan kantin seolah Laula kuman yang menakutkan. Bambang kasihan kepadanya. Dia tak mau meninggalkan kantin. Laula mengenal Bambang. Dia duduk di sebelah Bambang sambil membawa sepiring lontong.

Sesaat hening. Bambang dan Laula tak mau saling sapa. Bambang berpikir kawan barunya ini pemalu. "Anak baru, ya?" tanya Bambang.

"Kamu juga anak kelas IVA, kan? Kenapa masih berada di sini? Teman yang lain sudah pergi semua," jawab Laula. Bambang berpikir bahwa anak baru ini marah.

"Kamu kan bukan kuman! Kenapa aku harus takut?" Tawa Bambang sambil mengulurkan tangan kepada Laula. "Kenalkan, namaku Bambang. Kau Laula asal Papua, kan? Hahaha, aku sudah tahu tadi ketika kau memperkenalkan diri di depan kelas."

Mereka kemudian berbincang hingga tak sadar bel tanda masuk sekolah berbunyi. Anak kelas IVA heran melihat mereka sudah akrab. Ombik, teman sebangku Bambang merengut saat Bambang duduk di dekatnya.

"Kenapa kau akrab dengan anak baru itu, Bam? Dia itu kan kampungan! Dia berkulit hitam, kau putih. Dia berambut keriting, kau ikal. Dia bergigi putih, kau...." Bambang menutup mulut Ombik dengan telapak tangan kanannya.

"Jangan bilang kalau gigiku kuning, ya! Awas!" Bambang bercanda sambil mengepalkan tinju. Ombik ingin tertawa, tapi dia akhirnya menahan tawa karena Pak Anton sudah masuk ke kelas.

Ombik langsung mengejar Bambang saat pulang sekolah. "Kenapa sih kau mau berteman dengan Laula? Kan dia itu...."

"Jangan bilang dia itu beda dengan kita. Kau tak ingat pelajaran agama, bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan? Yang membedakan cuma takwa. Jadi, tak usah kau pikirkan asal Laula dari mana, kulitnya warna apa, rambutnya bentuk apa, giginya, eh tak jadi."

"Karena gigimu kuning, ya?" ledek Ombik. Bambang memukul pelan bahu temannya itu. Saat melihat Laula di depan mereka, Ombik memanggilnya agar mereka bisa berjalan bersama.

***

Hampir satu bulan Laula menghuni kelas IVA, tapi hanya Bambang dan Ombik yang mau berteman akrab dengannya. Sewaktu akan diadakan turnamen sepak bola antar sekolah SD sekecamatan, Bambang mengusulkan agar Laula juga diikutkan. Anak-anak yang lain ingin protes. Namun, mereka tak bisa membantah, karena selain ketua kelas, Bambang juga kapten tim sepak bola di SD Satu Nusa. Pak Anton sangat setuju Laula masuk tim, karena dia tahu orang dari Timur bisanya jago bermain sepak bola.

Anak-anak kelas IVA ragu kemampuan Laula bermain sepak bola. Tubuhnya yang kurus dan tak berotot, membuat mereka yakin dia hanya akan membuat SD Satu Nusa kalah.

"Kau pasti bisa!" kata Bambang dan Ombik meyakinkan Laula saat mereka latihan

Ternyata Laula memang hebat bermain sepak bola. Tapi, selain Bambang, Ombik dan beberapa anak yang tergabung dalam tim sepak bola, rata-rata anak kelas IVA tetap menganggap remeh Laula.

Hampir tiga bulan mereka berlatih, tibalah turnamen sepak bola SD sekecamatan digelar. Tetap saja anak-anak kelas IVA ragu terhadap kemampuan Laula. Tapi, keraguan mereka terbantahkan dengan penampilan anak Papua ini di lapangan hijau. Jangankan anak SD Satu Nusa yang berdecak kagum, anak SD lain pun selalu cemas jika bola berada di kaki Laula.

Lambat-laun semua anak kelas IVA tak lagi menjauhi Laula. Mereka malahan sangat bangga memiliki teman yang jago bermain sepak bola. Pada saat pertandingan final antara SD Satu Nusa dan SD Negeri 1 dilangsungkan, seluruh anak kelas IVA dengan tulus meneriakkan nama Laula.

Rasa bangga mereka berteman seorang Laula semakin hebat, tatkala SD Satu Nusa bisa mengalahkan SD Negeri 1 dengan nilai yang telak, yakni 3 : 0. Sejak saat itu,  anak-anak kelas IVA semakin akrab dengan Laula..

"Bam, aku belum tahu kau itu asal dari mana sebenarnya," ucap Laula saat mereka berada di kelas menunggu Pak Anton  datang.

"Bingung, kan? Kau mungkin menebak aku orang Lampung, ya?" Bambang tersenyum.

"Ah, kau bukan orang Lampung. Aku tahu dari namamu, kau itu orang Jawa!" seru Laula bersemangat. Ombik terkekeh dan Bambang tertawa.

"Salah besar! Aku ini orang Sumatera Utara, Mandailing. Hahaha, bingung, kan? Tapi, kita semua tetap Indonesia." Bambang mengangkat tinggi tangan Laula. Seisi kelas langsung bertepuk tangan, termasuk Pak Anton  yang tiba-tiba telah berdiri di depan kelas.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun