Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bibir Pos

17 Januari 2019   11:37 Diperbarui: 17 Januari 2019   13:26 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak itu kami berjanji hanya menempelkan cap bibir di kertas surat sebagai bukti cinta. Kala aku menerima surat bercap bibir darinya, aku akan memendamnya di bawah bantal sampai dua minggu. Selalu begitu. Menjelang minggu ketiga, aku buru-buru mencap bibirku ke kertas itu, lalu melayangkannya lewat tangan pak pos.

Percintaan yang lucu. Menggelikan. Namun kami sangat menikmatinya. Kuingat bagaimana aku harus berjibaku untuk melekatkan bekas bibirku di surat pertama dari Munah. Aku laki-laki. Salah satu cara melekatkan bibir di kertas tentulah dengan lipstik. Apakah aku sanggup berlaku seperti perempuan? Bagaimana kalau ada yang memergokiku mengenakan lipstik? O, atas nama cinta aku tetap melakukannya. Atas nama cinta lipstik ibu menjadi sasaranku.

"Siapa yang mengacak-acak meja rias ibu?" Terkadang jeritan itu terdengar dari mulut ibu. Atau di kali lain. "Lho, kenapa lipstick yang baru kubeli cepat sekali berkurang?"

Hahaha! Aku menutup wajah dengan keduabelah tangan. Kenangan yang menggelikan sekaligus memasygulkan. Ibu telah meninggal dunia tujuh bulan lalu. Sekarang aku terpaksa malu-malu membeli lipstik di warung Yuk Masnah.

"Untuk siapa, Do?" Terlempar tanya dari mulut nyinyirnya ketika aku ingin membeli lipstick. "Untuk ibumu, kan dia sudah tenang di alam sana. Untuk pacarmu, kau kan tak punya pacar. Untuk kakakmu, kau kan anak tunggal. Untuk bapakmu, apa bapakmu berlipstik?"

"Untuk sapiku!"

Aku meletakkan selembar surat itu di atas meja. Kuhitung satu demi satu bibir itu. Bibir kiriman Munah, bibir balasanku. Ada dua puluh pasang bibir, lebih satu. Artinya kami telah berkirim-kiriman cap bibir dua puluh kali. Lebih satu itu adalah cap bibirnya yang belum kubalas.

Aku menerawang. Aku membayangkan wajah Munah. Aku ingin tahu apakah wajahnya masih cantik dan menarik. Seharusnya aku memintanya mengirimkan foto. Cap bibir itu sangat tak bisa membuktikan apakah dia masih cantik dan menarik.  Tapi meminta fotonya, tentu harus melalui kata-kata. Padahal kami telah sepakat, hanya berkirim-kiriman cinta lewat cap bibir. Kata-kata bisa berdusta. Bibir adalah pengucap yang mudah-mudahan tak hendak berdusta.  

Bibirku bergetar. Aku meletakkan surat itu di bawah bantal. Sambil menyilangkan tangan di bawah kepala, aku berbaring mengenang ucapan Misna.

"Apa? Kau masih mencintai Munah?"

"Iya! Memangnya kenapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun