Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujung Muara

16 Januari 2019   22:04 Diperbarui: 16 Januari 2019   22:21 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang yang tersusun di rusuk cuma satu-dua kotak mie instan, dan beberapa sachet kopi. Salmiah berhenti membuka lapak karena kekurangan modal. Sementara seluruh bahan-bahan kering perlengkapan dapur, sekarang tak lagi dijual, selain hanya untuk keperluan perut sendiri.

"Malam nanti aku mau mencoba melaut lagi," gumam lelaki itu sambil menatap Salmiah.

"Meskipun bapak yakin tak  mendapat apa-apa?"

"Hanya Tuhan yang tahu apakah aku dapat atau tidak dapat apa-apa. Aku hanya berusaha. Percuma berharap kepada orang-orang penguasa yang tutup mulut, tutup tindakan, karena terganjal uang."

Salmiah menuju dapur. Lao Ode turun menuju perahu. Dia mengayuh perahu menuju rumah Hasan, lalu ke rumah beberapa lelaki sahabatnya. Ada berempat mereka di dalam perahu. Melaju entah menuju ke mana, saat siang mulai berubah senja, dan gerimis turun setetes-setetes.

Mereka berlabuh di sebuah tempat, lalu menunggu seseorang yang keluar dari semak, membawa sesuatu dalam karung yang tampak berat. Setelah seseorang itu dan karung berada dalam perahu, mereka melaju menyisiri pinggir muara, menjauh dari keramaian. Melintasi rerimbunan bakau, dan menghilang di seberang tanjung.

***

Gerimis berhenti. Beranjak Isya, beberapa penduduk menghentikan kegiatannya. Para lelaki, kanak-kanak, beberapa ibu setengah tua menuju mushola. Saat itulah ada kembang api kelihatan dari jauh, nun dari pelabuhan. Sayup-sayup terdengar ledakan susul menyusul, Semua penduduk tertegun. Seolah melihat pesta yang amat ramai. Tapi Azan Isya membuat beberapa penduduk menggulung hasrat melihat nyala api yang semakin besar, lalu menuju mushola.

Nyala api baru menghilang hampir pukul sepuluh malam, menyisakan asap membubung hitam. Terdengar kabar dari mulut ke mulut, entah benar entah salah, beberapa kapal yang merampok ikan nelayan, meledak semua. Para awak kapal, rata-rata ke kota, berpelisir ke tempat-tempat pelepas hasrat. Menuntaskan rindu pada tawa yang renyah dan musik-musik mengguncang, dan lenguh yang membuat tumbang.

Hanya beberapa penjaga yang ada di dalam kapal, memilih mencebur ke laut dan berenang ke daratan, manakala kapal dimamah api yang sering tak bersahabat bila besar. Para awak yang sedang gembira ria entah di mana, tiba-tiba seakan terhisap menuju pelabuhan. 

Memperhatikan kekuatan api dengan kejam menumbangkan periuk nasi mereka. Membuat mereka hanya menahan tangis. Membuat tauke pemilik kapal meremas rambut dan jantungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun