Malam indah jatuh di atas teras. Angin dingin menyela-nyela pepohonan . Istri, Fikri dan Saodah menyeretku ke luar villa. Kata mereka tak baik mengabiskan malam yang indah dengan buru-buru berlabuh di peraduan. Fikri ingin menunjukkan bahwa dia sudah mahir memainkan gitar. Saodah mengajuk ingin memperlihatkan musikalisasi puisi. Oh, ya, aku lupa istriku mantan penyanyi. Penyanyi rumahan, maksudku. Perempuan itu mencupit pelan pinggangku. Katanya, aku juga semakin gendut terlebih di bagian perut. Masalah perut itulah yang menyebabkan aku teringat sesuatu. Aku berlari kembali ke dalam villa. Kuangkat tinggi-tinggi rantang lima susun. Tawa anak-beranak pecah. Tanpa makan sepertinya ada yang kurang menikmati malam dingin di bibir pantai.
Perlahan kami menuju bibir pantai yang telah menyemut manusia. Tua muda, besar kecil. Kami agak menjauh ke tempat yang lumayan sepi. Duduk lesehan di atas pasir. Pilihan pertama bagiku adalah makan. Fikri asyik menyetel gitarnya. Saodah menghadap laut sambil melantunkan puisi. Kataku, suara cemprengnya mengalahkan debur ombak. Dia merengut, memukuli lenganku. Saat itulah aku mendengar teriakan memutar angkasa. Orang-orang menunjuk ke arah laut. Orang-orang ketakutan. Aku dan seluruh keluarga saling bersitatap heran. Tapi, teriakan Fikri tentang air, membuat kami melesat bagaikan panah lepas dari busur. Kami harus menyelamatkan diri! Kami harus berlari menjauhi pantai!
***
Saat ini
Begitulah, akhirnya Asla menyelesaikan kisahnya. Matanya sembab. Air matanya tumpah. Istrinya, Fikri dan Saodah menatapnya sedih. Bau obat menyadarkan kami. Saatnya akan tiba. Tangisan tak akan mengalahkan kenyataan. Asla telah mengalami operasi di kaki---beberapa bagian. Bekas sabetan kayu dan remah-temah lainnya, membuat koyak-moyak di kakinya infeksi. Seminggu ini kembali menghasilkan nanah dan bau busuk. Tim medis memutuskan pilihan terakhir; kaki Asla mesti dioperasi. Kedua kaki itu. Kenyataan yang memutuskan hubungannya dengan dunia  normal. Kemungkinan besar dia tak bisa lagi bekerja sebagai nakhoda. Dia harus mengenakan kursi roda, dan mulai belajar menggunakan kruk.
Asla menangis sesengukan. Kubelai punggung tangannya. Setiap orang pada suatu waktu mengelami kesenangan. Begembira. Tertawa-tawa. Pada suatu waktu pula kesusahan menghampiri. Bersimbah tangis. Merasakan hidup akan selesai. Tapi, hidupmu tak akan selesai, Asla. Hidupmu baru dimulai dari sekarang. Dulu kau hidup dengan dua kaki, menjadi nakhoda yang gagah mengarungi seluruh samudera, mengunjungi beragam benua. Kini kau hidup tanpa kaki, menjadi orang biasa yang berpindah dari ruang tamu ke kamar tidur saja, membutuhkan perjuangan. Tapi, perjuangan itu bukan di jasad. Perjuangan itu di hati. Orang normal yang malas berjuang, hampir mirip mereka yang disabilitas. Mereka yang disabilitas dan kuat berjuang, malahan melebihi kesanggupan orang normal. Semangatlah, Teman!
Kulihat sinar itu di matanya. Bayang-bayang tsunami tak lagi melintas. Dia, temanku Asla, yang kuat, yang semangat. Engkau juga harus memberikannya semangat. Buatlah dia dan yang lainnya tersenyum, meskipun hanya menepuk-nepuk punggung tangannya bahwa mereka bisa. Mereka kuat. Mereka semangat. Bencana itu tetap datang dari dulu hingga nanti. Â Ada yang hidup, ada yang mati. Tapi, semua tetap bergerak seperti jam, seperti bumi, seperti bulan, seperti planet-planet, seperti galaksi-galaksi, seperti senyuman yang jatuh di matanya.
---sekian---
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Cerpen RTC Duka IndonesiakuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H