Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sairah

14 Januari 2019   11:22 Diperbarui: 14 Januari 2019   11:37 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bilur-bilur pipi Sairah. Matanya sembab menahan tangis. Tangannya yang kurus-kering masih melukis punggung laki-laki berkulit badak itu dengan uang benggol. Sesekali laki-laki itu bersendawa. Hawa alkohol mendesak ulu hati Sairah. Rasa bencinya mencuat. Tapi laki-laki itu adalah suaminya.

Si Barda yang brengsek dan pergajul. Hari-harinya mabuk. Pulang-pulang memukul Sairah, setiap kali dia terlambat memenuhi keinginan si brengsek itu. Semisal menghidangkan makanan di meja makan. Terlambat membukakan pintu. Atau Sairah bagai gedebong bisa ketika Barda mengajaknya bercinta di lapik tipis yang penuh ceceran air mata itu.

"Sebaiknya kau tinggalkan saja dia!" ucap Romlah, pembantu tetangga sebelah rumah, saat dia melihat bekas tamparan di pipi Sairah pada suatu pagi yang mendung. "Buat apa bertahan bersama lelaki yang tak tahu diri! Kerjanya hanya memalak di pasar. Minum-minum sampai teler, dan pulang-pulang membawa amarah ke rumah. Bukan duit!"

"Tapi dia suamiku, Romlah! Apa kata orang nanti. Baru setengah tahun menikah dengan Barda, kami sudah bercerai. Mereka pasti menganggap aku yang memiliki kelainan. Tak becus meladeni suami." Dia mendesah.

"Kau tahu kan sudah berapa kali aku kawin-cerai. Kawin dengan Latief, cerai karena dia pemalas bukan main. Kawin dengan Handik, begitu pula kejadiannya. Lelaki itu sama seperti Barda, senang main kasar. Lalu, apakah aku harus bercerai juga dengan Barda? Romlah, sampai sekarang aku belum memiliki keturunan. Siapa yang membelaku ketika tua, kalau bersama Barda pun aku tak memiliki anak?"

"Aku lebih senang kau menjanda, Sairah! Lihatlah tulang-tulangmu bertonjolan karena makan hati berulam jantung. Bagaimana kau seperti  sapi perah mencuci-menyeterika di rumah orang-orang kaya. Bahkan bila ada yang berminat, kau harus memijit tubuh mereka yang lembek dan berdaging tebal," gerutu Romlah.

Sairah melihat tulang-tulangnya yang bertonjolan. Dia berpikir apa yang diomongkan pembantu tetangga sebelah rumah itu memang benar. "Lakukanlah yang terbaik demi ketenangan hidupmu. Jangan menjadi perempuan bodoh yang hanya pasrah diperlakukan suami seperti itu."

Sairah tersentak. Bunyi tiang telepon yang dihantam dua belas kali oleh penjaga malam dengan sebilah besi, membuyarkan kenangan perbincangannya dengan Romlah. Perlahan dia menyeka keringat di tangan.

Barda sudah mendengkur seperti kerbau kekenyangan. Kulit punggungnya telah membentuk garis-garis serupa kulit zebra. Bedanya kulit zebra bergaris hitam dan putih, sementara kulit Barda bergaris coklat dan merah padam.

Sairah beringsut ke dekat cermin. Dia menghitung berapa bekas tamparan masih tersisa di pipinya. Berapa bekas kuku Barda yang singgah di cuping telinganya. Berapa cambukan yang menimpa dada, bokong bahkan bagian pangkal dalam selangkangannya. Barda tak hanya berlaku kejam karena marah yang menggelegak.

Tapi ketika syahwatnya menyala, dia berlaku bagaikan algojo yang senang melukai korbannya. Barda memang memiliki kelainan seks. Syahwatnya semakin menggila bila berhasil membuat luka di kulit pasangannya, kemudian menghasilkan jerit yang memecah ruang yang sempit dan bacin itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun