Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tahi Apa Itu?

28 April 2017   15:40 Diperbarui: 28 April 2017   23:35 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah tahi dari mana yang menempel di dinding ruang tamu rumah. Sebelum istriku pulang dari pasar, aku mengorek-ngorek tahi itu dengan ujung pisau. Aneh sekali, si tahi tetap menempel erat di dinding. Menempel lebih kuat dari cat, lebih keras dari gumpalan semen. Aku sampai berkeringat. Kipas angin kuposisikan di putaran maksimal.

“Tahi apa itu?” tanyaku seolah bertanya kepada diri sendiri.

Istriku yang baru tiba dari pasar, hanya melengos. Dia meletakkan segala belanjaan di meja makan. Aku melihat-lihat, ada daun ubi pesananku, juga jengkol, ikan asin dan sekantong plastik cabe.

“Tahi apa? Yang mana?” Istriku balik bertanya. Dia menenggak habis air dingin di gelas. “Setiap pagi aku sudah bangun dan membersihkan rumah. Mana ada tahi yang bersisa. Lagi pula siapa yang gendeng berak di dalam rumah? Kalau tahi binatang, binatang apa? Kucing kita tak punya. Burung tak ada. Bapak ini selalu berpikiran macam-macam. Makanya jangan ngedem terus di rumah!”

Aku memilih diam bila istriku mulai meributkan masalah ngedem di rumah. Bukan keinginanku berlaku demikian. Aku juga mau seperti Asep, tetangga sebelah yang pergi pagi pulang senja. Bajunya selalu necis. Rambutnya tersisir rapi. Sepatunya mengilat. Aku juga tak menampik hasrat seperti Pak Bos yang memiliki tambak udang dan beberapa mobil mewah. Tapi apa daya orang kasep seperti aku. Nama saja yang mentereng; Sutan Kayo. Tapi tak kaya-kaya. Apalagi selepas aku ditendang dari perusahaan eksport-import itu, semakin melaratlah diriku. Untung saja istriku seorang guru. Dialah yang mengambil alih kendali keuangan rumah tangga. Dan di hari libur begini, dia menjadi sangat cucakrawa. Maksudku merepet tak berhenti.

“Mana tahi itu?”

“Noh di dinding.” Bibirku berubah posisi menjadi jari telunjuk. Mata istriku melirik ke arah yang kutunjuk.  Dia melenguh. Dia mendekati dinding dan jongkok di situ.

“Noh, noh, noh! Apaan? Tak ada tahi di sini. Dasar mata katro!”

Aku mengelus dada. Sakit rasanya dikatai terus. Seharusnya, sekali-sekali sambil menyiapkan sarapan, dia lebih baik menonton ceramah Bu Dedeh di salah satu televisi swasta. Jangan hanya sibuk dengan siaran berita atau debat-kusir masalah sengkarut pemerintahan. Moga-moga saja dia menyimak perkataan Bu Dedeh tentang bagaimana bersikap kepada suami. Ya, sorga istri adalah di bawah telapak kaki suami. Begitu kiasan yang pernah sekali kudengar dari mulut ibu gemuk yang ramah dan doyan ketawa itu.

Aku ingin membela diri karena tak senang dikatakan mata katro. Tahi itu langsung kuperhatikan.

Ha, tak ada lagi! Apakah aku tak salah lihat? Meskipun mata kukucek sampai berair dan kelilipan, toh tahi yang menempel di dinding, sama sekali bersih. Hai, ke mana dia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun