Lapangan bola lengang. Hampir pukul sepuluh pagi. Bapak rukun tetangga memberitahukan beberapa hari lalu, pembukaan perhelatan itu pukul sembilan pagi tepat. Ke mana semua orang? Padahal saat berangkat dari rumah---setelah bertengkar dengan istri pasal sendal kulit atau sendal jepit yang akan dipakai ke perhelatan itu---aku berpikir sudah bejibun orang di lapangan bola. Ternyata hanya lalat yang ramai. Kebetulan tempat ini hanya selemparan batu dari tempat pembuangan sampah akhir.
Sebenarnya sudah beberapa kali pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, pemilihan raja, aku ogah mendatangai tempat pemilihan suara. Kehidupanku yang tetap carut-marut, dan kondisi negeri yang hanya mundur ke belakang, membuatku apatis. Apalagi temanku rata-rata golongan putih. Dari orang-orang yang suka memakai pakaian putih, hingga orang yang berpikir putih alias tak mau terlibat sedikit pun pasal pilih-memilih, termasuk pemilihan kepala rukun tetangga.
Kali ini, aku tergoda menyukseskan pemilihan raja. Bukan apa-apa, faktor tampilan wajah dan badan kami yang hampir sama, aku merasa bersalah bila tak memilihnya. Mungkin saja kami kembar, atau kucing kami yang kembar, atau kambing kami yang kembar. Pokoknya aku merasa bersalah tak membantunya, apalagi dia harus kalah telak dengan rivalnya.
Selain itu aku ingin tahu, sebenarnya berbentuk apakah bilik suara itu. Adakah seperti tempat praktek mantri atau dokter yang menyediakan suntikan dan mengajariku menyuntik kertas. Mungkin juga seperti panti pijat pinggiran kota yang sekali-dua kusambangi, dengan perempuan berwajah dan berbadan menor, menyediakan paku dan mengajariku bagaimana menusuk kertas.
“Bagaimana ini? Kok masih sepi?” bisikku kepada istri. Dia menguap. Tadi, dia enggan kuajak ke tempat pemilihan suara ini. Masih mengantuk katanya.
“Itulah! Banyak orang tak sudi datang ke sini. Lebih baik kita berdagang. Lihat, matahari terik begitu. Es buah bakalan laris manis. Hei, mengapa kita tak terpikir berjualan saja di sini?”
Aku bisu. Mataku tertumbuk ke perempuan berbaju kaos merah ketat yang duduk di dekat bilik suara. Jakunku naik-turun. Betapa menggoda wajah perempuan itu! Betapa genit kerlingnya! Kupikir dia yang akan mengajariku menusukkan paku ke kertas. Aku tak sabaran mendapat giliran.
Begitu namaku dipanggil, aku tergesa berjalan. Tak sengaja aku menabrak kursi dan tali sendal jepitku putus. Alangkah malunya berkaki ayam memasuki bilik yang dijaga perempuan itu. Tapi tak apalah. Aku menahan malu ditertawai orang. Aku tak perduli senyum sinis istri. Yang penting kerling perempuan berbaju kaos merah itu lebih menggoda.
“Gimana caranya, Mbak?” bisikku. Perempuan itu tersenyum.
“Masuk saja ke bilik!”
“Aku belum pernah menusuk, Mbak,” jawabku malu-malu.
Perempuan itu berdiri. Membimbingku masuk ke bilik. Mengajariku menusuk kertas yang sesuai dengan kata hatiku. Dan ternyata kata hati kami sama. Dia juga akan memilih calon raja yang mirip denganku itu. Yang tak sama hanyalah, aku naksir dia, dan dia mau muntah melihatku. Hasil yang didapat adalah, istri marah besar. Hampir sebulan aku puasa di atas kasur.
* * *
Pilihanku menang telak! Seolah dapat lotre, aku jejingkrakan. Bangga rasanya aku menjadi salah seorang yang memuluskan orang itu menjadi raja. Beberapa orang kugratiskan makan es buah sebagai imbas kesukacitaan.
Istri kontan marah. Dia tetap tak yakin dengan orang itu. Dari tampilannya saja tak meyakinkan menjadi raja. Sama dengan tampilanku. Suka kalah dengan istri. Aku hanya cengengesan dan berharap pilihanku tak salah.
Hingga beberapa hari ini aku gelisah setiap kali melihat acara di layar kaca. Aku mulai ragu terhadap pilihanku. Apalagi Singkut sering menuduhku sebagai biang keladi hingga terpilihnya orang itu sebagai raja.
“Lihat, dari BBM saja tak jelas. Dari memilih pejabat saja tak benar. Dan sekarang, apakah kau yakin cicak dan buaya akan naik kelas menjadi tokek dan buaya, atau biawak dan buaya. Harusnya biar agak lebih sepadan, komodo dan buaya?” keluh Singkut.
“Tak tahulah aku! Tapi meski ragu, aku berharap dia mengambil langkah terbaik. Karena apa yang direncanakannya, kita tak tahu, toh! Okelah, aku pulang dulu, sudah terlalu malam ini. Mataku berat.” Aku menghabiskan segelas kopi di depanku sampai tandas.
“Mata berat atau tak tahan lagi masuk bilik tak bersuara?”
“Semprul!”
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H