Ingat sariawan, ingat jaman baheula. Umur saya waktu itu sekitar delapan atau sembilan tahun. Ya, namanya anak-anak, tentu rata-rata tidak doyan sayuran dan buah-buahan, kecuali jeruk. Alhasil susah BAB dan mulut terasa panas serta berbercak putih. Orang-orang tua di kampung, biasa menyebutnya panas dalam. Istilah sariawan, jaman itu belum mafhum bagi mereka.
Tentu saja obat yang paling mujarab dan kepercayan umak (ibu) saya adalah kembang semangkuk. Dan sebenarnya yang selalu membuat saya takjub, bukan proses penyembuhan dengan minum air rendaman kembang semangkuk itu, melainkan metamorfosis—ciee---dari biji kembang semangkuk yang berukuran kecil, menjelma besar dan memenuhi mangkuk tempat perendaman.
Biasanya umak saya menyiapkan beberapa biji semangkuk yang dibeli dalam bungkusan di warung. Biji semangkuk itu direndam dalam mangkuk berisi air, persis sebelum kami tidur malam. Pagi-pagi saat saya bangun, air rendaman biji semangkuk itu saya minum. Rasanya nyess, lega ditenggorokan. Biasanya umak saya mencampurnya dengan sesendok teh madu, biar rasanya lebih enak. Tokcer! Sariawan saya sembuh,
Sekarang karena agak susah mencari biji kembang semangkuk di pasar, paling-paling saya mengonsumsi biji selasih, sekadar penangkal sariawan. Dan sekali seminggu saya sengaja mengunyah kunyit sebesar jempol jari tangan, untuk menjaga kesehatan mulut dan gigi. Meskipun gigi terlihat kuning, tapi demi kesehatan, tak apa-apalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H