Pihak agen perumahan atau apartemen akan menemukan beribu alasan untuk menolak mereka mendapatkan sewa rumah.
Apabila dilihat dari kebutuhan negara Jerman dalam tenaga pekerja, tentu dengan adanya diskriminasi seperti ini sebetulnya akan menjadi situasi paradoks dalam posisi negatif. Satu sisi Jerman membutuhkan tenaga pekerja, tapi di sisi lain mereka yang datang ke Jerman akan kesulitan untuk setidaknya mencari tempat tinggal.
Sebenarnya apa yang menjadi ketetapan Jerman dalam membuka gerbang selebar-lebarnya kepada para pendatang--yang memiliki landasan dasar dan tertuang dalam The Basic Law pasal 16, di mana menyebutkan bahwa siapa pun yang melarikan diri dari penindasan politik memiliki hak atas suaka Jerman--ini juga berdampak pada masyarakat lansia yang ada di negara tersebut.Â
Pasalnya, anggaran untuk para imigran agar dapat hidup dan bekerja di sana dapat dibilang menguras keuangan Jerman.Â
Menurut Algemeine Zeitung Frankfurter, untuk memenuhi kebutuhan satu pengungsi dibutuhkan sekira 13.000 Euro (atau setara dengan US$ 14.500)/tahun. Sementara itu, pada tahun 2016, pendatang yang masuk ke Jerman sekira 800.000 jiwa. Dengan demikian, anggaran total dari semuanya bisa mencapai 10 miliar Euro (atau setara dengan US$ 11 miliar)/tahun.
Ada satu cerpen menarik berjudul "Tuan yang Paling Mulia" yang membahas tentang kehidupan seorang lansia berkebangsaan Jerman Bernama Joachim, di mana dirinya harus bergantung kepada seekor anjing yang sering dipanggil "Tuan" dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
 Joachim tua harus merawat anjingnya, Tuan, agar mendapat tunjangan hidup senilai 600 Euro dari Departemen Sosial. Meski pun tunjangan hidup itu sebetulnya untuk kebutuhan anjingnya, namun juga dimanfaatkan oleh Joachim demi merajut hari demi hari.
Saya merasa agak ironi atas fenomena ini, sebab pemerintah Jerman lebih mengedepankan kebutuhan hidup imigran dengan menggelontorkan bermiliar Euro dibanding merawat masyarakat aslinya.
Sebuah lakon
Ada satu masalah yang perlu disorot terkait masyarakt imigran, yakni bagaimana mereka berlakon agar dapat menjadi masyarakat lokal. Mereka --masyarakat imigran-- seolah-olah menggantung kostum kepribadiannya yang telah tertanam dari negara asalnya dan meniru bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Jerman. Entah dari cara berpakaian atau sampai pola berpikir.
Pada cerpen berjudul "Aliansi Monyet Putih", dapat dilihat bagaimana tokoh Marquis meniru seluruh kebiasaan masyarakat Jerman. Â Ia merupakan seorang yang berasal dari Indonesia, dan bertemu dengan seorang profesor Volker yang mengajak dirinya untuk tinggal di Jerman. Tokoh Marquis yang memiliki nama asli Sumartono Hidayat menyetujui usul dari Prof. Volker, dan sekaligus menjadi kekasih dirinya. Ya, Sumartono Hidayat menjadi seorang gay.