Mohon tunggu...
Muhammad Rifan Prianto
Muhammad Rifan Prianto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta. Penulis yang baru merintis karirnya di atas pena. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidangan Spesial

22 Agustus 2024   10:02 Diperbarui: 22 Agustus 2024   10:08 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidangan makan siangku hari ini begitu spesial. Daging rusa muda dengan saus barbeque yang mengguyur keseluruhan bagian daging dan acar rumput laut segar, serta segelas besar bir impor dari Jerman untuk minumanku. Ah, belum pernah kumerasa sebahagia ini hanya karena hidangan makan siang. Dan kurasa menu ini akan menjadi menu favoritku untuk selama-lamanya.

Mereka memperlakukanku dengan begitu baik dalam tiga hari belakangan ini. Berbeda dengan hari sebelumnya. Diriku diperlakukan layaknya binatang. Diseret, ditelanjangi, atau dipukuli. Kamar penginapanku dalam tiga hari ini juga lebih baik daripada hari sebelumnya yang hanya beralaskan tikar saja.

Di kamar baru ini terasa lebih nyaman untuk ditempati karena memiliki fasilitas seperti: bed cover empuk berwarna putih yang berada di pojok kanan kamar, sebuah kamar mandi kecil di ujung kamar bagian kiri, dan jendela yang langsung menghadap ke arah taman, meskipun harus dilapisi oleh jeruji. Namun, aku cukup mengapresiasi terhadap mereka karena telah melayaniku sepenuh hati selama tiga hari belakangan ini.

Sebenarnya aku belum pernah sama sekali mencicipi daging rusa muda beserta saus barbeque dan acar rumput laut. Tetapi, Kepala Sipir memberikanku satu permintaan istimewa. Kemudian dalam pikiranku terlintas daging rusa muda dengan saus barbeque dan acar rumput laut, serta sebuah bir impor untuk sekadar melengkapi hidangan spesial ini. Setidaknya aku harus berterima kasih kepada Kepala Sipir karena telah mewujudkan permintaanku.

Kepala Sipir merupakan seseorang yang menyambutku ketika pertama kali aku di sini. Dia menyambutku dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan membosankan, dan tidak ada semacam tarian adat atau jamuan selamat datang. Mungkin seperti itulah tradisi penginapan di sini. Entah, aku tak tahu jika itu berlaku untuk penghuni lain. Aku masih ingat pertanyaan apa yang sering dia layangkan kepadaku.

"Mengapa kaubunuh Gelandangan Tua Itu, wahai Anak Muda?"

Dengan ekspresi datar dia selalu menanyakan perihal kematian Gelandangan Tua Itu. Kurasa dia hanya sekadar menjalankan tugasnya saja daripada mengasihani atau berempati terhadap Gelandangan Tua Itu.

Aku merasa kasihan terhadap gelandangan itu. Tua, kurus, rapuh, lusuh, dan tak memiliki teman berbincang. Kebetulan malam itu aku membawa makanan yang kubeli dari pasar dekat tempat penginapanku sebelumnya di pusat kota, dan niatnya ingin kusantap untuk makan malam. Tetapi, ketika aku melewati gang kecil, aku melihat Gelandangan Tua Itu seperti lapar sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk memberi makananku kepadanya. Aku pun duduk bersamanya di emperan gang sambil berbincang dengan maksud menemani Gelandangan Tua Itu menyantap makan malamnya. 

Aku begitu bahagia saat melihat Gelandangan Tua Itu menyantap makanannya dengan begitu lahap. Namun, perasaan bahagia di dalam hatiku beranjak begitu cepat. Aku langsung merasa sedih. Miris. Ironi.

Aku memikirkan Gelandangan Tua Itu jika tak ada seorang yang selalu memperhatikan dia untuk sekadar keperluan pangannya saja karena kata Gelandangan Tua Itu, dia belum makan selama tiga hari. Kemudian terlintas di benakku tentang kisah surga yang dipenuhi berbagai macam makanan beserta sungai khamr yang tak pernah kering airnya. 

"Pak, saya ingin memberi bapak sebuah hadiah. Tetapi, bapak harus menutup mata terlebih dahulu." ucapku kepadanya.

Dengan wajah senang serta tenaga yang mulai pulih kembali, Gelandangan Tua Itu menyetujui apa yang aku usulkan untuk menutup matanya agar mendapati hadiah dariku.

Kemudian aku menutup matanya menggunakan kain sakuku, dan menguji penglihatan Gelandangan Tua Itu.

"Apa bapak masih bisa melihat?" tanyaku sambil mengacungkan beberapa jari di depan wajahnya.

"Sepertinya dunia menjadi gelap untuk sesaat, wahai Anak Muda." jawab Gelandangan Tua Itu sambil bergurau kepadaku, dan kubalas dengan tawaan kecil.

Aku pun langsung mengambil sepotong besi berujung lancip yang berada di samping tempat sampah besar, dan tanpa meminta izin lagi langsung kutusuk gelandangan tua itu beberapa kali hingga dia tergeletak. Setelah menyelamatkan seorang gelandangan tua dari kesengsaraan dunia, saat hendak pergi, aku ingin memastikan kembali bahwa dia benar-benar mati. Kuambil lagi potongan besi tadi untuk menusuk kembali tubuh Gelandangan Tua Itu, namun sayangnya perbuatanku terlihat oleh petugas sampah setempat yang langsung meneriakiku.

"Woi, gila. Ngapain, Lu!!!" teriak Si Petugas Sampah yang mengagetkanku.

Dengan keadaan tertekan aku mencoba tenang dan memberi tahu maksud tujuanku kepadanya. Akan tetapi, dengan perasaan marah atau semacamnya, dia tetap meneriakiku dan secara tidak langsung menimbulkan kerumunan masa di sebuah gang gelap nan sempit.

Akhirnya aku dihakimi oleh beberapa massa, dan Si Petugas Sampah seakan menjadi pemimpin dari gerombolan massa yang merasa marah atau apalah itu. Aku diikat, dipukuli menggunakan benda tumpul, diinjak, dan sebagainya, sedangkan massa yang lain bertugas menelepon ke pihak berwajib, dan tidak menunggu lama terdengar sirene dari mobil polisi yang menandakan bahwa aku siap untuk dijemput olehnya.

Aku berkata kepada Kepala Sipir bahwa aku merasa kasihan terhadap nasib Gelandangan Tua Itu, tetapi dia tetap memutuskanku untuk mendekam sesaat sampai keputusan yang ia tentukan. Aku pun menyetujuinya dengan anggukan karena terasa sulit untuk berbicara ketika wajah sedang lebam.

Ketukan dari pintu besi kamarku membangunkan dari seluruh jelajah waktuku dengan sekejap. Terdengar pintu yang dibuka secara hati-hati dan langsung memanggil namaku.
"Terpidana Andrew, anda diminta untuk bersiap-siap sekarang juga oleh Kepala Sipir." kata seseorang berbadan besar dengan senapan yang ada di genggaman tangannya, dan langsung menutup kepalaku menggunakan kain hitam, serta menuntunku ke arah tujuan yang ia inginkan.

Di dalam perjalanan gelapku-karena penglihatanku tertutup oleh kain hitam apek-aku membangun lamunanku kembali yang sebelumnya dileburkan oleh Bawahan Si Kepala Sipir. Aku mulai memaki dunia ini dengan seluruh kemunafikannya. Mereka semua mengadiliku dengan dalih perbuatan keji karena telah membunuh gelandangan tua secara kejam. Padahal, aku hanya membunuhnya dengan pasti sampai ia cepat mati. Aku lebih tidak lega bila dia mati perlahan karena lapar atau kedinginan dan membeku di pinggir jalan, dan tak akan ada yang memedulikannya atas kematiannya. Sebenarnya menurutku, aku lebih beradab daripada mereka semua yang mengadiliku. Mereka dengan sengaja tidak memedulikan sekitar meski hanya keperluan pangan orang-orang misin. Namun, ketika kejadian malang menimpa kepada seorang miskin, mereka akan datang dengan sejuta kebenaran dan moral omong kosong itu. Mereka bertindak seolah memedulikan apa yang telah terjadi terhadap si miskin.

Untuk kedua kalinya lamunanku dileburkan oleh Bawahan Si Kepala Sipir. Ah, ingin sekali kumendengarkan lagu "I Shot The Sheriff" dari Bob Marley. Bawahan Si Kepala Sipir itu menyuruhku untuk bersandar. Aku tidak tahu apa yang kusandarkan, namun terasa seperti kayu kasar yang tidak diamplas. Setelah itu, lenganku diikat mengitari bagian belakang tubuh kayu kasar yang tak diamplas ini. 

Cuaca hari ini sangat panas dan membuatku gerah, sehingga membuat pikiranku kacau. Ingin kukatakan kepada Bawahan Si Kepala Sipir bahwa aku ingin sekali lagi menenggak bir impor, namun apa daya, mulutku juga dilakban.

Terdengar dari kejauhan orang sedang berbicara. Mungkin sekitar lima sampai enam orang. Kemudian aku menyibukkan diriku dengan bersenandung lagu "I Shot The Sheriff" dari Bob Marley di dalam hati yang menurutku pas dengan suasananya

"i shot the sheriff

but i didn't shoot no deputy, oh no! oh!

i shot the sheriff

but i didn't shoot no deputy, ooh, ooh, oo-ooh."

Ketika sedang asyiknya bersenandung, aku mendengar orang berteriak secara lantang. Aku tidak tahu apa maksud dari dia. Aku hanya mendengar seperti aba-aba.

"Bersiap!"

Seperti itu suaranya dengan suara pengiring kokangan senapan setelahnya.

"Satu,"

Aku mulai muak dengan suara bising itu.

"Dua,"

"Tiga!"

Di hitungan ketiga, terdengar suara letusan senapan "Dorrr!" dan ketika itu juga aku berubah pikiran. Sepertinya lebih baik menyenandungkan lagu Led Zeppelin yang berjudul "Stairway to Heaven".

Catatan: Cerpen ini telah dimuat di media Literat: https://literat.my.id/koleksi-antologi/hidangan-spesial/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun