Mohon tunggu...
Muhammad Rifan Prianto
Muhammad Rifan Prianto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta. Penulis yang baru merintis karirnya di atas pena. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidangan Spesial

22 Agustus 2024   10:02 Diperbarui: 22 Agustus 2024   10:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan wajah senang serta tenaga yang mulai pulih kembali, Gelandangan Tua Itu menyetujui apa yang aku usulkan untuk menutup matanya agar mendapati hadiah dariku.

Kemudian aku menutup matanya menggunakan kain sakuku, dan menguji penglihatan Gelandangan Tua Itu.

"Apa bapak masih bisa melihat?" tanyaku sambil mengacungkan beberapa jari di depan wajahnya.

"Sepertinya dunia menjadi gelap untuk sesaat, wahai Anak Muda." jawab Gelandangan Tua Itu sambil bergurau kepadaku, dan kubalas dengan tawaan kecil.

Aku pun langsung mengambil sepotong besi berujung lancip yang berada di samping tempat sampah besar, dan tanpa meminta izin lagi langsung kutusuk gelandangan tua itu beberapa kali hingga dia tergeletak. Setelah menyelamatkan seorang gelandangan tua dari kesengsaraan dunia, saat hendak pergi, aku ingin memastikan kembali bahwa dia benar-benar mati. Kuambil lagi potongan besi tadi untuk menusuk kembali tubuh Gelandangan Tua Itu, namun sayangnya perbuatanku terlihat oleh petugas sampah setempat yang langsung meneriakiku.

"Woi, gila. Ngapain, Lu!!!" teriak Si Petugas Sampah yang mengagetkanku.

Dengan keadaan tertekan aku mencoba tenang dan memberi tahu maksud tujuanku kepadanya. Akan tetapi, dengan perasaan marah atau semacamnya, dia tetap meneriakiku dan secara tidak langsung menimbulkan kerumunan masa di sebuah gang gelap nan sempit.

Akhirnya aku dihakimi oleh beberapa massa, dan Si Petugas Sampah seakan menjadi pemimpin dari gerombolan massa yang merasa marah atau apalah itu. Aku diikat, dipukuli menggunakan benda tumpul, diinjak, dan sebagainya, sedangkan massa yang lain bertugas menelepon ke pihak berwajib, dan tidak menunggu lama terdengar sirene dari mobil polisi yang menandakan bahwa aku siap untuk dijemput olehnya.

Aku berkata kepada Kepala Sipir bahwa aku merasa kasihan terhadap nasib Gelandangan Tua Itu, tetapi dia tetap memutuskanku untuk mendekam sesaat sampai keputusan yang ia tentukan. Aku pun menyetujuinya dengan anggukan karena terasa sulit untuk berbicara ketika wajah sedang lebam.

Ketukan dari pintu besi kamarku membangunkan dari seluruh jelajah waktuku dengan sekejap. Terdengar pintu yang dibuka secara hati-hati dan langsung memanggil namaku.
"Terpidana Andrew, anda diminta untuk bersiap-siap sekarang juga oleh Kepala Sipir." kata seseorang berbadan besar dengan senapan yang ada di genggaman tangannya, dan langsung menutup kepalaku menggunakan kain hitam, serta menuntunku ke arah tujuan yang ia inginkan.

Di dalam perjalanan gelapku-karena penglihatanku tertutup oleh kain hitam apek-aku membangun lamunanku kembali yang sebelumnya dileburkan oleh Bawahan Si Kepala Sipir. Aku mulai memaki dunia ini dengan seluruh kemunafikannya. Mereka semua mengadiliku dengan dalih perbuatan keji karena telah membunuh gelandangan tua secara kejam. Padahal, aku hanya membunuhnya dengan pasti sampai ia cepat mati. Aku lebih tidak lega bila dia mati perlahan karena lapar atau kedinginan dan membeku di pinggir jalan, dan tak akan ada yang memedulikannya atas kematiannya. Sebenarnya menurutku, aku lebih beradab daripada mereka semua yang mengadiliku. Mereka dengan sengaja tidak memedulikan sekitar meski hanya keperluan pangan orang-orang misin. Namun, ketika kejadian malang menimpa kepada seorang miskin, mereka akan datang dengan sejuta kebenaran dan moral omong kosong itu. Mereka bertindak seolah memedulikan apa yang telah terjadi terhadap si miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun