Mohon tunggu...
Muhammad Rifan Prianto
Muhammad Rifan Prianto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta. Penulis yang baru merintis karirnya di atas pena. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Ilmu Makna Bahasa, Semantik

19 Juli 2024   13:11 Diperbarui: 19 Juli 2024   13:11 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbeda dengan idiom, peribahasa masih dapat dicari seluk-beluknya dari makna unsurnya. Contohnya peribahasa berikut, Tong kosong nyaring bunyinya, yang bermakna seseorang yang banyak berbicara, tetapi nol isinya. Peribahasa ini terbentuk dari gambaran tong yang kosong akan berbunyi nyaring ketika dipukul. Berbeda jika tong tersebut berisi penuh, maka ketika dipukul tidak akan mengeluarkan suara yang nyaring. Contoh lainnya, Seperti anjing dan kucing untuk mewakili dua insan yang selalu berantem jika bertemu. Pemaknaan peribahasa ini dapat dilihat dari dunia nyata ketika seekor anjing dan kucing seringnya akan berseteru dan baku hantam ketika bertemu (biasanya akan dimenangkan oleh kucing oren, hehe). Dengan demikian pula, ternyata pepatah kita sangat cermat dalam mengamati peristiwa dari lingkungan sekitar, dan menghasilkan peribahasa yang dapat mewakili kondisi tertentu, hehehe.

Berkenaan dengan pembentukan makna, asal mula kata atau leksim berasal dari pemaknaan sederhana secara leksikal, denotatif, atau konseptual, seperti kata kuda yang berarti hewan berkaki empat, atau kata lengan dan tangan yang memiliki kemiripan makna, yaitu bagian salah satu tubuh. Akan tetapi, ketika kata lengan dan tangan diposisikan sebagai istilah di suatu bidang keilmuan, maka akan memiliki maknanya tersendiri. Karena berbeda dengan kata, suatu istilah mempunyai makna yang pasti. Contohnya, jika lengan dan tangan berada dalam ilmu biologi atau morfem tubuh, istilah lengan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu, dan istilah tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan.

Meski demikian, terdapat istilah yang telah menjadi kosakata umum dalam kehidupan sehari-hari. Misal, kata-kata akomodasi, virus, dan kalimat yang sudah membaur dan digunakan dalam bahasa sehari-hari. Berbeda dengan kata-kata morfem, fonem, pronominal, dan preposisi yang tetap sebagai istilah dalam bidangnya, dan belum menjadi kosakata umum.

Selain jenis-jenis makna, ilmu Semantik juga membahas terkait relasi makna yang mencakup sinonim, antonim, polisemi, homonim, hiponim, ambiguiti atau ketaksaan, dan redundansi. Masing-masing dari peranakan relasi makna tersebut mungkin terdengar familiar di telinga kita, seperti antonim dan sinonim yang bahkan sudah kita pelajari sedari Sekolah dasar.

Kalau polisemi itu suatu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Misal, kata kepala yang mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, dan (3) seusatu yang berada di sebelah atas. Biasanya, dalam KBBI kata yang termasuk dalam polisemi mempunyai makna sebenarnya, dan secara leksikal, denotatif, dan konseptual, biasanya terdapat pada bagian pertama makna. Sisanya, makna yang dikembangkan berdasar salah satu komponen yang dimiliki kata atau dalam satuan ujaran.

Kemudian, relasi makna homonim dan hiponim berada pada garis yang berseberangan fungsinya. Apabila homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang kebetulan bentuknya sama, namun maknanya tidak memiliki korelasi dan berdiri atas pemaknaannya sendiri, maka hiponim adalah keterkaitan suatu kata atau bentuk ujaran yang maknanya berada dan tercakup pada kata atau bentuk ujaran yang lain.

Contoh hiponim itu ialah kata bisa. Kata ini dapat berarti sesuatu yang disanggupi atau racun ular. Kedua kata pengertian ini berasal dari masing-masing makna yang tidak ada sangkut pautnya terhadap satu sama lain. Hal ini juga yang membedakan homonim dengan polisemi. Sedangkan, contoh dari hiponim itu terdapat pada kata merpati dan burung. Merpati adalah jenis burung, sedangkan burung adalah hewan yang memiliki ragam jenis, salah satunya adalah merpati, perkutut, rajawali, elang, dsb. Berarti, dengan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa relasi hiponim bersifat searah karena merpati berhiponim dengan burung, tetapi burung tidak berhiponim dengan merpati, melainkan hipernim.

Relasi makna selanjutnya adalah ambiguiti atau ketaksaan. Pemahaman mudahnya ialah suatu kalimat yang terdapat kegandaan makna akibat dari tafsiran gramatikal yang berbeda, entah secara pemenggalan atau bahkan intonasi. Contoh gejalanya dalam kalimat, anak dosen yang nakal. Dalam kalimat ini, kita dapat mengidentifikasi terdapat tafsiran anak+dosen dan yang+nakal, tetapi bisa juga anak dan dosen+yang+nakal. Perhatikan baik-baik, dua pemenggalan tersebut membentuk tafsiran yang berbeda. Bisa bermakna ada anak dosen yang memang nakal banget atau anak yang orang tuanya dosen terus dosennya nakal seperti cabul, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Relasi makna yang terakhir adalah redundansi. Istilah redundansi dapat dipahami sebagai penggunaan unsur segmental yang berlebihan di dalam suatu bentuk ujaran. Bahasa sederhananya yang sering kita dengar itu tidak efektif. Contohnya dalam dua kalimat berikut, Kursi itu dilempar oleh Messi dan Kursi dilempar Messi. Dua kalimat ini bermakna serupa, tetapi pada kalimat pertama terdapat kata oleh. Kata ini yang dianggap rendundasi. Berlebih-lebihan, mubazir, dsb. karena preposisi oleh tersebut tidak menciptakan makna baru. Meski demikian, menurut Verhaar (1978), dua kalimat sebelumnya  tidak sama, dan yang sama hanyalah informasinya. Penggunaan preposisi tersebut membantu penjelasan dan penonjolan pelaku, sehingga kita sebagai penerima informasi memahami pelakunya secara jelas.

Selanjutnya, di dalam ilmu semantik juga mempelajari tentang perubahan makna. Contoh fenomenanya itu pada kata radikal. Penggunaan kata radikal ini awalnya berkenaan dengan pemikiran seorang filsuf, yang berpikir secara mengakar (radix). Namun, setelah situasi tertentu dalam peristiwa yang kurang mengenakkan (9/11), kata radikal ini bergeser maknanya menjadi seseorang yang berlaku berbahaya, berasosiasi terhadap teroris, dan berkonotasi negatif. Fenomena ini sesuai apa yang disampaikan oleh Ferdinand Saussure, ketika sebuah kata sedang in, maka akan potensi bergeser maknanya. Dengan demikian, perubahan makna dalam fenomena ini terjadi atas perkembangan sosial dari peristiwa tertentu.

Selain berubah atas aspek sebelumnya, sebuah makna juga dapat berubah atas berkembangnya bidang ilmu dan teknologi, perkembangan pemakaian kata, pertukaran tanggapan indra, dan adanya asosiasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun